Quantcast
Channel: Mayantara School
Viewing all 36 articles
Browse latest View live

Menerjemahkan Karya Sastra

$
0
0

Oleh: Sapardi Djoko Damono

Kula menika kewan galak
*(Chairil Anwar, “Aku”)

Kita andaikan ada sebuah sajak dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; sajak terjemahan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lalu ke dalam bahasa Jawa. Dari versi bahasa Jawa, sajak itu kemudian “dikembalikan” ke dalam bahasa Jepang. Saya yakin, pembaca Jepang akan bertanya-tanya siapa gerangan yang telah menulis sajak serupa itu. Perbedaan antara yang asli dan yang “asli” tapi “terjemahan” itu merupakan hasil dari suatu proses pengkhianatan kreatif yang dilakukan oleh para penerjemah. Menerjemahkan karya sastra berarti mengubah – mengurangi atau menambah – apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada hakikatnya mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan demikian ia bisa menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam bahasa sasaran. Karya sastra dihasilkan oleh suatu masyarakat yang pada suatu masa tertentu mengembangkan kebudayaan yang pada gilirannya mennghasilkan karya sastra. Pada hemat saya, tidak ada seorang sastrawan pun yang bisa menghindari kenyataan itu.

Dan ketika penerjemah melakukan kegiatannya, kenyataan itu membayanginya. Karya sastra yang merupakan benda budaya yang dihasilkan oleh suatu masyarakat yang berakar pada tempat dan waktu tertentu, dipindahkan ke masyarakat lain yang akar budayanya berlainan. Benda budaya yang di suatu masyarakat disebut puisi, misalnya, harus diterjemahkan menjadi puisi pula. Masalahnya bukan terletak pada tuntutan agar penerjemah puisi adalah penyair, sebab kalau bukan maka terjemahannya diragukan sebagai puisi, tetapi terutama terletak pada perbedaan konsep mengenai puisi di antara masyarakat sumber dan masyrakat sasaran. Contoh yang segera muncul di kepala saya adalah haiku, jenis karangan terikat yang ringkas dari Jepang yang terdiri atas tiga larik, masing-masing terdiri atas lima, tujuh, dan lima (suku) kata. Ia hanya disebut haiku hanya kalau memenuhi syarat itu, namun dalam terjemahan yang ada dalam bahasa apa pun, sepanjang yang saya ketahui syarat itu tidak pernah bisa terpenuhi.

Bahkan seandainya terjemahan haiku itu dianggap berhasil, pertanyaan yang bisa muncul kemudian adalah apakah terjemahan itu dalam bahasa sasarannya juga bisa diterima sebagai puisi. Kita bisa membayangkan tanggapan Ronggowarsito seandainya pujangga Jawa itu membaca hasil terjemahan tersebut dalam bahasa Jawa. Haiku dan dhandhangula keduanya merupakan karangan terikat, tetapi cara mengikatnya sama sekali berlainan. Berbeda dengan Ronggowarsito, sastrawan Jawa masa kini tentu tidak akan memberikan tanggapan yang sama.

Jepang dan Indonesia adalah dua negeri yang terletak di dua daerah geografis yang berbeda, yang mencakup iklim, musim, dan lingkungan alam. Faktor-faktor itulah, di samping ideologi dan agama, yang pada dasarnya menentukan tumbuhnya kebudayaan, yang mencakup bahasa. Jika masalah penerjemahan haiku dianggap terlalu jauh, kita pusatkan perhatian pada kesusastraan kita sendiri. Salah satu buku yang (pernah) merupakan bacaan wajib di sekolah-sekolah kita adalah Sitti Nurbaya karangan Mh. Rusli, sebuah novel yang terbit pertama kali tahun 1922. Buku itu ditulis dalam bahasa Melayu (Balai Pustaka), bahasa yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia.[1] Kita umumnya beranggapan bahwa novel itu bisa dibaca remaja kita, meskipun sebenarnya hal itu perlu dipertimbangkan lagi. Masalahnya adalah apakah mereka masih bisa memahami bahasa dan kebudayaan yang telah menghasilkannya. Juga, apakah posisi novel itu tidak sama dengan kitab-kitab klasik lain yang ditulis dalam bahasa Melayu? Jika kedudukannya sama, maka usaha untuk mengubahnya ke dalam bahasa masa kini tentu merupakan pertimbangan yang tidak dibuat-buat. “Diterjemahkan” atau tidak, bagi sebagian besar pembaca kita – terutama yang bukan Minang – buku itu tentu dianggap sebagai sejenis bacaan dari suatu kebudayaan asing juga. Setidaknya pilihan kata dan susunan kalimat, belum lagi berbagai unsur dalam struktur sosial yang manjadi panggung bagi tokoh-tokoh dalam novel itu, terasa asing bagi pembaca masa kini.

Pada hemat saya, syarat terpenting dalam usaha memahami dan menghayati sastra adalah kemauan baik; tanpa itu hampir semua karya sastra akan kita buang begitu saja karena tidak mampu membacanya. Jika menerjemahkan Sitti Nurbaya bukan pilihan kita, tetap saja kemauan baik untuk mencari tahu seluk-beluk kebudayaan Minang merupakan upaya yang harus dilaksanakan. Dalam pandangan semacam inilah sebenarnya penerjemahan menjadi penting sebab merupakan bukti adanya kemauan kita untuk memahami dan menghayati kebudayaan lain.

Namun, kamauan baik tidak selamanya menyediakan jalan lapang bagi penerjemah. Bahasa pada dasarnya melaksanakan tugasnya sebagai alat komunikasi berdasarkan prinsip metafor dan metonimi, dua hal yang hampir tidak mungkin dipindahkan ke bahasa lain. Ada kemungkinan untuk mengalihkan kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, namun kata yang muncul dalam bahasa sasaran itu tidak akan sepenuhnya bisa menampung apa yang dikandung dalam bahasa sumber karena, antara lain, masalah konotasi. Karena piranti bahasa yang disebut itu merupakan anasir yang menentukan dalam karya sastra, agaknya beralasan jika dikatakan bahwa sastra tidak bisa diterjemahkan – tentu jika kita berpura-pura mampu mengalihkan segala piranti dan muatan yang ada dalam bahasa sumbernya.

Sebelum kita lanjutkan pembicaraan mengenai hal itu, kita kutip pandangan Henri Gifford, dalam Comparative Literature (1960), mengenai sastra terjemahan. Katanya antara lain,

A work translated can never be more than an oil painting reproduced in black and white. The texture has changed. Of course the broad arrangements of masses and planes will be no less clear, and perhaps even quite delicate nuances are not lost. However, the primal harmony has given place to something less finely calculated. Whenever the imagination is working at full capacity – whether in a lyric, a play, or a novel – it organizes the material with a degree of subtlety and comprehensiveness that no translation could ever match. The unity of the completed work draws together a multitude of converging details. It is bound to be impoverished in translation, though to what extent will depend on the form, whether prose or verse, and if verse whether short and lyrical, or narrative and sustained.

 Gifford rupanya memiliki pandangan yang begitu membahagiakan para penerjemah; sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Dikatakannya pula bahwa tidak ada terjemahan yang bisa menandingi taraf kehalusan dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam menyusun bahan karangannya. Itulah sebabnya keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya. Taraf pemiskinan pada puisi terjemahan tentunya sangat tinggi sebab dalam jenis sastra ini pengolahan bahasa untuk mengatur bahan menuntut imajinasi yang bekerja pada kemampuan penuh.

Pandangan semacam itu sangat wajar dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, suatu minat dalam telaah sastra yang memusatkan perhatian pada membanding-bandingkan karya sastra. Dalam bidang ini, tentu saja karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. Segi-segi stilistik, bahkan tematik, karya sastra sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya terjemahan. Bahwa terjemahan tidak akan bisa sama dengan aslinya, itu jelas. Karya asli itu final, sedang terjemahan tidak; suatu karya sastra bisa diterjemahkan oleh beberapa orang dengan hasil yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang dianggap final – karenanya selalu tersedia ruang untuk mengubah karya terjemahan.

Penerjemahan karya sastra tidak usah dinggap sebagai usaha mati-matian untuk menjadi karya yang sama dan sebangun dengan aslinya. Dengan landasan tersebut, tentunya kita tidak bisa sepenuhnya menerima pandangan Gifford yang mengibaratkan terjemahan sebagai reproduksi hitam putih atas luksian cat minyak. Kecelakaan semacam itu bisa saja terjadi jika penerjemahnya kurang mampu; namun keunggulan bisa juga dicapai jika penerjemahnya andal. Sangat mungkin ada terjemahan yang lebih bagus dari aslinya: hubungan antarunsurnya lebih kokoh, wawasannya lebih dalam, dan kemungkinan penghayatannya lebih luas. Dengan demikian ia bukan sekedar reproduksi hitam putih, tetapi karya lukisan cat minyak juga yang sejajar kualitasnya dengan aslinya.

Dalam hal inilah sebenarnya terjemahan itu oleh orang Prancis dianggap sebagai trahison créatrice. Penerjemahan memang pengkhianatan yang kreatif, seperti yang ditunjukkan oleh kasus yang menyangkut apa yang telah dilakukan Chairil Anwar. Penyair itu dapat dijadikan contoh bagaimana pengaruh asing diterima, bahkan direbut, oleh sastrawan kita dan dijadikan tenaga yang luar biasa kuatnya untuk menciptakan kesusastraan baru. Dalam sejarah sastra kita tercatat sejumlah pengarang yang menaruh minat terhadap penerjemahan. Salah seorang yang dengan sadar dan sungguh-sungguh mengaitkan kegiatan penerjemahan dengan proses kreatifnya sebagai pengarang adalah Chairil Anwar. Penyair yang oleh banyak pengamat dianggap sebagai pelopor puisi modern Indonesia ini menjadi matang antara lain karena menerjemahkan.

Dalam menerjemahkan, seorang pengarang dipaksa menciptakan bahasa yang setepat-tepatnya untuk mengalihkan pengalaman unik yang ada dalam sastra sumber, yang sangat mungkin tidak pernah dihayatinya karena bukan merupakan bagian kebudayaannya. Paksaan semacam itulah yang telah menjadikannya penyair yang dalam hidupnya yang singkat itu terus-menerus berusaha menajamkan kepekaannya dalam berbahasa. Hasilnya adalah Bahasa Indonesia yang boleh dikatakan baru, yang jauh melewati bahasa yang dihasilkan oleh orang-orang sezamannya, yang – seperti tampak dalam beberapa sajaknya – sampai sekarang pun masih kita rasakan sebagai pembaruan. Tentu harus ada semacam ikatan batin antara penerjemah dan karya sastra yang diterjemahkannya; yang terjadi bukan semata-mata terjemahan tetapi semacam tiruan. Si penerjemah, yang berasal dari kebudayaan dan, mungkin, zaman lain harus merasakan suatu keperluan untuk meniru karya sastra asli ke karya sastra sasaran demi keperluan yang berbeda, sesuai dengan zamannya.

Chairil Anwar adalah tokoh yang unik dalam sejarah sastra kita; ia dianggap pelopor suatu pembaruan sastra sekaligus dituduh penyair yang suka mencuri karya penyair asing. Saya akan menunjukkan beberapa cara yang ditempuh penyair yang meninggal pada usian 26 tahun itu untuk mengalihkan sastra sumber ke sastra sasaran. Contoh yang saya ajukan ini juga bisa memberi gambaran bagaimana kira-kira proses pengaruh itu lewat terjemahan. Salah satu sajak yang diterjemahkan Chairil Anwar adalah karya John Cornford, “Poem” yang dalam terjemahan diberi judul “Huesca.” Sajak asli dan terjemahannya adalah sebagai berikut.

 

Heart of the heartless world,

Dear heart, the thought of you

Is the pain at my side,

The shadow that chills my view

 

The wind rises in the evening

Reminds that autumn is near.

I am afraid to lose you

I am afraid of my fear.

           

On the last mile to Huesca,

The last fence for our pride,

Think so kindly, dear, that I

Sense you at my side.

 

And if bad luck should lay my strength

Into the shallow grave,

Remember all the good you can;

Don’t forget my love.

 

Jiwa di dunia yang hilang jiwa

Jiwa sayang, kenangan padamu

Adalah derita di sisiku,

Bayangan yang bikin tinjauan beku.

 

Angin bangkit ketika senja,

Ngingatkan musim gugur akan tiba.

Aku cemas bisa kehilangan kau,

Aku cemas pada kecemasanku.

 

Di batu penghabisan ke Huesca,

Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,

Kenanglah sayang, dengan mesra

Kau kubayangkan di sisiku ada.

 

Dan jika untung malang menghamparkan

Aku pada kuburan dangkal,

Ingatlah sebisamu segala yang baik

Dan cintaku yang kekal.

 

 

Terjemahan Chairil Anwar ini termasuk yang setia kepada aslinya; paling tidak, dalam kasus ini ia tidak mencuri atau meminjam larik-larik sajak asing untuk kepentingan kreatifnya sendiri, seperti yang tampak dalam sejumlah sajaknya. Konon terjemahan itu suka diibaratkan: yang cantik itu yang tidak setia, yang setia itu tidak cantik. Sajak terjemahan Chairil Anwar ini pernah populer di kalangan anak-anak muda yang giat dalam kesenian di Solo tahun 1950-an, ketika di kota pedalaman itu mulai muncul kegemaran berdeklamasi. Terjemahan Chairil Anwar itu disusun dalam irama dan bunyi yang enak dibaca; di samping itu tentunya faktor yang berkaitan dengan tema juga menentukan popularitasnya. Tahun 1950-an belum begitu jauh jaraknya dari masa perjuangan fisik, dan tema sajak terjemahan itu memang sesuai dengan suasana zaman.

“Huesca” adalah salah satu terjemahan yang cantik; jadi adakah ia setia kepada aslinya? Di antara terjemahan Chairil Anwar, sajak ini termasuk yang setia – tetapi seberapa jauh? Jika kita uraikan dengan agak cermat, ternyata ada beberapa catatan yang penting kita buat. Kata “Heart” yang mengawali sajak itu diterjemahkannya menjadi “Jiwa.” Pada larik pertama juga, “heartless” diterjemahkan menjadi “hilang jiwa,” suatu terjemahan yang agak aneh sebab “heartless” berarti “cruel, unkind, has no sympathy for anyone or anything.”

Makna “heartless” dalam sajak aslinya sesuai dengan tema sajak yang berkaitan dengan perang. Dalam bahasa kita, “hilang jiwa” merupakan ungkapan yang tidak sejelas bahasa sumbernya, yang bahkan dalam hahasa sasarannya pun perlu dipertanyakan; Chairil Anwar telah menciptakan ungkapan yang baru, setidaknya makna yang baru bagi ungkapan itu, yang sama sekali tidak membayangkan adanya faktor kekejaman dan ketiadaan belas kasihan seperti yang jelas tampak pada bahasa sumbernya. Pada larik kedua, “Dear heart” diterjemahkannya menjadi “Jiwa sayang,” bukan “Kekasih” atau “Jantung hati.” Pengulangan kata “heart” dalam sajak sumber dipertahankan dengan cara mengulang kata “jiwa,” meskipun hal itu mengakibatkan ketidaksetiaan. Di sini Chairil Anwar setia mengikuti teknik pengulangan, tetapi “terpaksa” tidak setia mengikuti maknanya. Pada baik kedua, “I am afraid” diterjemahkan menjadi “aku cemas” yang jelas lebih ekspresif dari “aku takut” atau bahkan “aku khawatir,” Dua larik terakhir sajak ini juga menunjukkan akal Chairil Anwar dalam menerjemahkan; dalam sajak sumbernya terdapat paralelisme makna dengan menggunakan kata “remember” dan “don’ forget,” dalam terjemahannya dua larik terakhir itu dirangkaikan oleh kata “ingatlah.” Sementara itu pada “my love” ditambahkan “yang kekal” – mungkin sekali untuk memburu rima dengan larik kedua bait terakhir itu.

Masalah penerjemahan yang kita bicarakan setakat ini berurusan dengan puisi, yang oleh Gifford tentunya dikategorikan sebagai yang paling sulit. Bahkan suka dikatakan bahwa puisi tidak bisa diterjemahkan. Pernyataan itu mengandung kebenaran jika si penerjemah sama sekali tidak mengenal seluk-beluk proses penulisan puisi, meskipun memiliki penguasaan bahasa yang unggul. Dalam hal ini pernyataan yang tersirat dalam tulisan Gifford itu bisa benar, yakni hahwa jika sajak yang diterjemahkan itu ringkas dan liris, faktor kesulitan penerjemahannya lebih tinggi. Ini pada gilirannya menyediakan ruang yang sangat luas untuk perbedaan, baik antara terjemahan dan aslinya maupun antarterjemahan itu sendiri. Apa yang dilakukan Chairil Anwar merupakan bukti bahwa penguasaan atas bahasa sasaran lebih penting dari bahasa sumber. Kesulitan yang berkaitan dengan bahasa sumber bisa diatasi dengan kamus atau konsultasi dengan orang lain, tetapi rendahnya penguasaan atas bahasa sasaran tidak akan bisa diatasi dengan cara apa pun, kecuali dengan usaha terus-menerus untuk bereksperimen. Tentu ada kekhawatiran bahwa keadaan itu bisa menghasilkan terjemahan yang keliru tetapi bernilai sebagai karya sastra. Ini memang merupakan konsekuensi dari usaha penerjemahan karya sastra.

Umumnya kita berpendapat bahwa penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; namun, kita juga boleh berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya. Bahasa itu mutlak peka budaya; cara pengungkapan dalam suatu bahasa didikte oleh sekalian segi budaya yang telah menghasilkan bahasa itu, sebab memang bahasa diciptakan untuk keperluan komunikasi di lingkungan kebudayaan tertentu. Jadi, penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Hal ini menuntut pengubahan kode beserta segenap kuncinya agar bisa dipahami dalam kebudayaan sasaran.

Penerjemah karya sastra pada dasarnya adalah pengarang yang mencipta dengan batasan, kungkungan, dan ikatan yang berasal dari karya yang diterjemahkannya. Ia perlu menciptakan “kembali” penghayatannya atas karya sastra yang diterjemahkannya itu. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan itu agar bisa kreatif sebab ia juga diikat oleh kebudayaannya sendiri, oleh dirinya sendiri. Akibatnya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah pengkhianatan. Jika proses kreatif menjadi sangat dominan, ada kemungkinan usaha penerjemahan itu melangkah lebih jauh lagi, yakni ke penyaduran. Inilah yang pada dasarnya dilakukan Chairil Anwar ketika menulis sajak “Kerawang Bekasi,” yang oleh sementara pengamat dianggap hasil jiplakan dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul “The Young Dead Soldiers.”

Terjemahan pada hakikatnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik bangsa lain di zaman tertentu pula. “Krawang-Bekasi” boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Dengan “mengubah dirinya” karya sastra bisa menembus ruang dan waktu. Dengan demikian terjemahan menyebabkan karya sastra bertahan hidup; meminjam istilah Gifford, karena diterjemahkan karya sastra mengalami second existence, keberadaan  atau kehidupan kedua.

Dalam kekayaan sastra kita, epos Mahabharata – seluruhnya atau bagian-bagiannya – telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk oleh para pengarang kita selama beberapa zaman; epos yang berasal dari India itu telah mengalami kehidupan yang kesekian kalinya di Indonesia. Kisah mengenai keluarga Bharata itu tentunya memiliki makna tersendiri bagi bangsa India di zaman yang sudah lama lampau; bagi kita di zaman ini, makna epos itu tentu saja sama sekali berbeda.

Beberapa karya klasik Barat seperti kisah pelayaran Odysseus oleh Homerus mengalami hal yang serupa; bangsa-bangsa modern di Eropa Barat zaman ini membaca terjemahan kisah petualangan tersebut, yang dikerjakan oleh para penyair modern, dengan makna yang berbeda, sesuai dengan keperluan mereka. Kehidupa kedua itu tidak hanya berlangsung di negeri lain, tetapi juga bisa berlangsung di negeri sendiri seperti yang terjadi pada penerjemahan Beowulf di Inggris. Beowulf adalah puisi naratif anonim dalam bahasa Inggris kuno yang konon dihasilkan di Inggris sekitar abad ke-8, meskipun kisahnya mengenai negeri-negeri Skandinavia. Puisi itu telah beberapa kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris modern baik dalam bentuk puisi maupun prosa, baik untuk kepentingan akademik maupun umum.

Seandainya Beowulf itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia akan hidup kembali dalam bahasa yang sama dengan terjemahan drama-drama Shakespeare (1564-1616), novel-novel Jane Austen (1775-1817), dan sajak-sajak

T.S. Eliot (1888-1965). Bahasa (-bahasa) Inggris karya-karya itu berbeda-beda sebab berasal dari zaman yang berbeda-beda pula; meskipun berasal dari bangsa yang sama, karena berasal dari zaman yang berbeda maka kebudayaan yang mendukungnya pun telah mengalami pergeseran-pergeseran. Dalam terjemahan, semua itu seolah-olah berasal dari zaman yang sama; kita tentu tidak bisa, dan tidak perlu, menciptakan bahasa (-bahasa) Indonesia khusus bagi karya berbagai pengarang itu. Ketika Taslim Ali menerbitkan bunga rampai Puisi Dunia (1953), ia pun menggunakan bahasa Indonesia yang sama untuk menerjemahkan sejumlah besar sajak dari berbagai negeri dan zaman. Karena sebagian besar penerjemahan dilakukan oleh Taslim Ali, mau tidak mau sajak-sajak yang berasal dari bangsa, bahasa, dan zaman yang berbeda-beda itu harus tunduk pada gaya bahasa yang dikuasai penerjemah.

Usaha untuk memindahkan pengalaman dan penghayatan terhadap hidup milik bangsa lain ke kebudayaan kita sudah berlangsung sejak kita mengenal sastra tulis. Mungkin bahkan bisa dikatakan bahwa dalam perkembangannya, sastra tulis kita digerakkan oleh kegiatan penerjemahan. Dalam adikarya Zoetmulder mengenai sastra Jawa Kuno, Kalangwan, kita diberi penjelasan mengenai eratnya hubungan antara penerjemahan dan penciptaan karya sastra. Jelas bisa kita simpulkan bahwa peranan Ramayana dan Mahabharata terhadap perkembangan sastra Jawa Kuno sangat menentukan. Mungkin bahkan bisa dikatakan bahwa para pujangga kita di zaman lampau adalah penerjemah atau penyadur. Keadaan yang serupa terjadi dalam perkembangan sastra Melayu klasik. Dikatakan oleh Richard Windstedt dalam A History of Classical Malay Literature  bahwa “Any one who surveys the field of Malay literature will be struck by the amazing abundance of its foreign flora and fauna and the rarity of indigenious growth.

Berdasarkan kenyataan tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa segenap terjemahan karya sastra yang selama ini  kita kerjakan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sastra kita. Langsung atau tidak langsung, penerjemahan itu ikut menggerakkan sastra kita. Kita tentunya sepakat bahwa terjemahan sastra yang kita inginkan adalah yang berupa karya sastra juga dalam bahasa sasarannya. Syarat itu sangat penting sebab jika tidak, sumbangannya terhadap apresiasi dan perkembangan sastra perlu dipertanyakan. Bahkan kita boleh menyatakan bahwa faktor kesastraan dan keterbacaan dalam terjemahan lebih penting daripada ketepatan penerjemahannya. Sejarah sastra dunia telah menunjukkan bahwa ketidaksetiaan, bahkan kekeliruan, dalam penerjemahan bisa saja menciptakan gairah yang membimbing sastra bahasa sasaran. Khalayak sastra terjemahan bukanlah mereka yang memahami bahasa sumber dengan baik, tetapi pembaca yang suka melakukan pengembaraan ke kebudayaan-kebudayaan lain tanpa harus menguasai bahasa sumber. Jumlah mereka sangat banyak, dan akan bertambah banyak. Oleh karena itu kegiatan penerjemahan sastra pasti akan semakin meningkat di masa yang akan datang.***

 

 


* Disampaikan pada Kongres Nasional Penerjemahan, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta tanggal 15 – 16 September 2003

[1] Hal ini pun masih bisa diperbantahkan.


The Question of Translation And Translation Studies

$
0
0

Asruddin Barori Tou, Ph.D.
Yogyakarta State University

Abstract

Over the centuries, translation as a phenomenon has been addressed in several fields of study: literary studies, cultural studies, linguistics, etc. In the last quarter of the 20th century scholars’ continuous attempt and perseverance to establish a discipline gained momentum in 1970s, in which the designation translation studies was suggested and in its turn widely accepted. It is also claimed that its subsequent development as a separate discipline is a success story of the 1980s. Now the subject has developed in many parts of the world, as such that there is a tendency in translation studies to emancipate oneself as a discipline through a drastic separation from the contexts of the other disciplines in question. While this tendency may be historically understandable, one may be led to a loss of contexts which are crucial to an understanding of the phenomena of translation. This paper will address questions that centre round the state of translation studies development as a discipline in its own right and their points of contact with other disciplines, and those that are associated with the notion of translation itself.

1.  Introduction

Over the centuries, translation as a phenomenon has been addressed in several areas of ‘scientific’ investigation: philology (literary studies in particular), philosophy, theology, ethnography, anthropology, culture and cultural studies, linguistics, etc. In the last quarter of the 20th century scholars’ continuous attempt and perseverance to establish a discipline in its own right gained momentum in 1970s. At the Third International Congress of Applied Linguistics in Copenhagen on 21-26 August 1972 James S Holmes talked about the naming of the would-be-born discipline. Of the several names mentioned, he then suggested the designation “translation studies” as “the most appropriate of all those available in English, and its adoption as the standard term for the discipline as a whole would remove a fair amount of confusion and misunderstanding” (Holmes 1988:70). This suggested term was subsequently accepted by many scholars, and has been widely used by speakers and writers of translation across the globe ever since-often as a ‘lingua franca’ among scholars of different schools. Other terms that may be used in academic circles would refer to particular schools of translation studies to which the users associate themselves. While the question of terminology referring to the ‘independent’ discipline is ‘formally’ resolved, some problematic theoretical issues within translation studies remain.

It is claimed that the subsequent development of translation studies as a separate discipline is a success story of the 1980s (Bassnett & Lavefere 1995:vii). With the various fields of study that were and are still-in one way or another-involved in investigating the phenomenon, one would easily understand why Neubert and Shreve use the expression “a house of many rooms” to refer to the wide range of translation studies (Neubert & Shreve 1994). One may also cite the proverb that says “there are many roads to Rome”, meaning that-in the present context-there can be many ways (disciplines) for use as an attempt to arrive at the destination, that is, to achieve an understanding of the translation phenomenon as an object of investigation of translation studies. In this, one critical issue is concerned with the nature of the relationship between translation studies as a discipline in its own ‘house’ on the one hand and the other disciplines that come in contact with it in various aspects and dimensions of the object of study. Attempts have been made by scholars to explain the nature of their relationship. However, more often than not what seems to be an explanation is not an explanation at all but confusion.

Now the subject has developed in many parts of the world, as such that there is a tendency in translation studies to emancipate oneself as a discipline through a drastic separation from the contexts of the other disciplines in question (Steiner 1996:4). While this tendency may be historically understandable, one may be led to a loss of contexts which are crucial to an understanding of the phenomena of translation. In this respect Baker reminds us that translation studies is currently going through a period of fragmentation: of approaches, schools, methodologies (Baker 1996:9), a statement that calls for scholars’ attention.

Of the various theoretical issues in all talk of translation within translation studies, this paper will address questions that centre round the developmental state of translation studies as a discipline in its own right and their points of contact with other disciplines, and those that are associated with the notion of translation itself. This will be formulated under two headings: (1) the state of translation studies, and (2) on translation.

 2.  The state of translation studies

Referring to scholars’ statements on the state of translation studies development, Tou points out that the “literature on translation tells us about the meandering path of translation theory” (Tou 1997:5). Back in the 1960s, Savory for example expressed disappointment by saying that “there are no universally accepted principles of translation” and qualified people “have bequeathed to us a volume of confused thought which must be hard to parallel in other fields of literature” (Savory 1968:49-50), and Levy admitted that there was still no adequate comprehensive approach to translation (Levy 1969:13). In the 1970s, Steiner observed that there was still a deficient degree of understanding of translation (Steiner 1975:238), while Kelly stated that “….. a comprehensive translation theory has proved elusive” (Kelly 1979:1). In the 1980s, Bassnett-McGuire conceded that a systematic translation theory was still in swaddling bands (Bassnett-McGuire 1980:1), while Wilss in his blunt statement concluded that there had not been any coherent, agreed upon, intersubjectively valid translation theory (Wilss 1982:11), and Frawley pointed out that translation theory remained “a phantasm” (Frawley 1984:159).

In his review Tou concedes that scholars have worked hard and tried many different ways and approaches to translation in an attempt to gain insight into its nature (Tou 1997:5). Scholars have tried the so-called [additive/integrative] interdisciplinary and multidisciplinary approaches to translation, but so far their endeavours have gained no real success. In Wilss’s observation the root of the difficulty “in designing a paradigm for the science of translation” lies in the multidisciplinary expansion itself (Wilss 1982:65). In this, as de Waard and Nida acknowledge, to describe translation systematically and relate it meaningfully to various disciplines one would be led to the risk of multidisciplinary disintegration (de Waard and Nida 1986:185). The enormity of problems of integrating various disciplines into a unified approach to translation is also acknowledged by Lorscher (cf. Snell-Hornby 1988:31-6):

….. the mere addition of approaches relating to the various relevant disciplines (additive interdisciplinarity) can only reveal certain aspects of the object under investigation. ….. But whether and how this [integrative interdisciplinarity] can be put into practice is hardly more than an open question for the time being. ….. the problems of integrating different disciplines into a unified approach are enormous ….. (Lorscher 1989:57).

Ironically, despite the enormity of problems and proof of failure, translationists still insist on promoting the necessity of the so-called additive interdisciplinarity, integrative interdisciplinarity, or multidisciplinarity, as ‘promising’ concepts for the investigation of translation (cf. e.g. Kade 1968:36, Hullen 1976:21, Snell-Hornby 1988:31-6, and Lorscher 1989:57). In Tou’s view, these additive inter- and integrative interdisciplinary perspectives and the multidisciplinary perspectives still imply the maintenance of each discipline as the locus of intellectual activity, with translation studies acting as a bridging discipline that accommodates the countless existing disciplines and at the same time ‘respect’ their existence and values as disciplines of their own, for the investigation of translation phenomenon (cf. Tou 1997:6-7). How can one accommodate various disciplines and integrate them into a unified whole translation studies as a discipline in its own right while at the same time one still maintains each discipline as the locus of intellectual activity? Apparently, there is a problem.

One of the problems that translationists traditionally deal with is concerned with the question of determining the domain of translation studies (translation theory), and the various translation theories and approaches to translation are in some sense reflections of an attempt to determine the overall semiotic space (domain) of translation studies. In Gutt’s observation, there are three major lines of approach to the issue of the domain of translation theory (Gutt 1991:5). The first is an approach that is based on shared intuitions about the domain, without attempting to define it systematically. The second is an approach that delimits the domain by prescriptive definition. The third is a culture-oriented approach that takes translation to be what a culture takes it to be. As far as theory is concerned, Gutt himself argues that relevance theory of communication is adequate to explore and account for translation phenomena and therefore there is no need to have a distinct general theory of translation (Gutt 1990, 1991:vii-viii).

While appreciating the existence of the various translation theories and approaches to translation-which may be seen as an indication of human creative power to mean as translationists, Tou states that the availability of the theories and approaches does not necessarily indicate that the life of translation has been investigated in a systematic and comprehensive manner (Tou 1997:8). Tou concludes that so far there have not been any brilliant and comprehensive theories that can account for the life of overall translation phenomena, processes, products and activities. Baker’s recent comment on the existence of the ingenious annotation system (kambun kundoku) used in Japan around the ninth century is a clear indication of the theoretical inadequacy of translation (Tou 2003a), in which she states:

“This directly converted the Chinese texts into understandable, if unnatural, Japanese. But was it translation? It seems to be something in between intralingual and interlingual translation, and I do not believe we have any theories that can account for this type of practice either” (Baker in Baker & Malkmkjaer 1998:xvii).

One reason why there are various disciplines getting involved and intervening in the activities of translation studies is because translation as the object of translation studies represents multidimensional phenomena many of which have traditionally been the objects of the other disciplines in question. At the denotative or textual semiotic level of investigation for example, translation may involve a language (linguistic semiotic) or languages (linguistic semiotics). As early as 1950s, Jakobson referred to a one-language translation as an intralingual translation (rewording) and a more-than-one-language translation as an interlingual translation (translation proper) (Jakobson 1959:233). In this context the object of translation studies is concerned with language phenomena, be they intralingual or interlingual phenomena. Thus, a translation event would globally be seen as a translanguage event, in which a language or languages is or are involved. In this respect, translation studies comes in contact with linguistics, for the object of linguistics is language phenomena. Thus, scholars like Catford would argue that translation must draw upon a general linguistic theory, since “the analysis and description of translation-processes must make considerable use of categories set up for the description of languages” (Catford 1965:vii).

Still at the denotative semiotic level of investigation, translation may involve not only a language or languages but also a nonlanguage (nonlinguistic semiotic) or nonlanguages (nonlinguistic semiotics). Back in the 1950s, Jakobson used the term “intersemiotic translation” (transmutation) to refer to a translation that involves both a language and a nonlanguage (Jakobson 1959:233). This latter type implies that in translation studies there is a need for systematic investigations of not only linguistic semiotic meanings, systems and representations-to which linguistics has something to offer-but also nonlinguistic semiotic meanings, systems and representations-to which other disciplines have things to offer. Jakobson’s basic classification of translation types surely needs to be developed, alongside the wide-ranging complexity and development of our changing world that always brings about the increasing demand for a greater variety of needs, one of which is the human/human-involved translation.

Human/human-involved translation phenomena involve not only denotative or textual semiotic meanings, systems and representations but also connotative or contextual semiotic meanings, systems and representations. (For relevant discussion of denotative and connotative semiotics, see for example Martin 1984, 1992, Matthiessen 1993, Tou 1997). In this, one motif that lies behind the involvement and intervention of other disciplines in translation studies such as “cultural studies” is the need for an understanding of the higher level (i.e. connotative or contextual) semiotic meanings, systems and representations. As a matter of fact, the linguistic and non-linguistic semiotic aspects and dimensions that reside in the denotative semiotic space are embedded within the higher semiotic aspects and dimensions that reside in the connotative semiotic space, within the overall semiotic universe of translation.

It is the view of the present paper that not only do denotative semiotic variables occur and make meanings in translation but they also influence and are influenced by connotative semiotic variables which are stratally situational, cultural, ideological and dienic religious (cf. Martin 1992:496 and Sinar 2002:80). Translationists need to construct and develop a theory that can account for all denotative and connotative semiotic variables in the overall semiotic space of translation in question. In this respect, what is at issue is not so much concerned with what theoretical paradigms are involved in translation studies but how relevant theoretical paradigms complement each other for a better understanding of translation meanings, systems and representations. The perspective that needs to be taken in investigating translation as phenomena and its potentiality should not be one of disciplinary, interdisciplinary or multidisciplinary nature but one of transdisciplinary and thematic nature (see Tou 1997:138-176).

Unfortunately, at the present state of translation studies development, what is expected by many is not what is happening, as has been indicated in Baker’s previous statement under the introduction heading. In particular, Baker notices that the greatest rift which is currently threatening to reduce the discourse on translation into a series of fault finding exercises and divisive oppositions is that between the linguistics paradigm and cultural studies paradigm (Baker 1996:9), from which the expressions so-called “linguistically-oriented” translation studies as opposed to “culturally-oriented” translation studies emerge. So, Catford for example says that “translation has to do with language” (Catford 1965:vii) whereas Casagrande states that “one does not translate LANGUAGES, one translates CULTURES” (Casagrande 1954:338). Other competing theoretical paradigms entering into the arena of translation studies are observable in terminological expressions used that are typically associated with particular disciplines, for instance expressions such as “philologically-oriented”, “theologically-oriented”, “philosophically-oriented”, “anthropologically-oriented” or “ethnographically-oriented” translation studies.

Consequently, the various approaches and theoretical perspectives in translation studies result in various notions of translation (many of them may be just variants of the same notion). Thus, the theoretical-conceptual statements on translation in the subsequent heading need to be looked at against the background of translation studies and the current state of its development.

 3. On translation

To begin with, one conceptual issue that emerges from the discourse on translation is concerned with the different uses of the term “translation” itself. Particularly in the past, as a referring expression this term was ambiguous in that it was used by scholars in at least four different senses. At the meta-level, the term was used to refer to translation theory in general (a general theory of translation phenomena), and this term was also used to refer to a particular theory of translation phenomena founded and developed by a particular school of translation studies; other schools or trends would use terms such as translation science, translation theory, translatology, translation studies, translatics, etc. At the object-level, the term was used to refer to a particular kind of phenomena, processes, products, activities (i.e. translation phenomena, processes, products, activities), and the same term was employed to refer to the practical activities of working on translation phenomena, processes, products (translation practices or activities) (cf. Holmes 1988:69-71, Newmark 1988, Tou 1997:142, 2003a, 2003b). Those are the four uses of the term “translation”. In the subsequent paragraphs, the various definitional notions of translation are particularly associated with the question of translation as a particular kind phenomena, processes, products or activities.

The remote history of the existence of translation (cf. Savory 1968:37, Rabasa 1984:21, Delisle & Cloutier 1995:7) does not lead to a universally accepted notion of translation, though there may shared aspects of the various definitional notions of translation. To proceed with the common practice among scholars when they talk about translation as phenomena, processes, products or activities, one will soon discover that there are as many definitions as there are scholars to define translation. The cited and enumerated ones below are some of them:

(1).   “Translation must always be the re-creation of the original into something profoundly different. On the other hand, it is never a substitution of word for word but invariably the translation of whole contexts” (Malinowski 1965:11-2).

(2).   “Translation may be defined as follows: the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)” (italics as original) (Catford 1965:20).

(3).   “Translation … is … an equivalence of thought that lies behind its different verbal expressions” (Savory 1968:13).

(4).   “Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of source-language message … in terms of meaning and … style” (Nida & Taber 1969:12).

(5).   “Translation is the replacement of a representation of a text in one language by a representation of an equivalent text in a second language” (Hartmann & Stork 1972:713).

(6).   “… translation consists of transferring the meaning of the source language into the receptor language. … It is meaning which is being transferred and must be held constant. Only the form changes” (Larson 1984:3).

(7).   “Translation means “recodification.” … Translation is the reduction of coded input into another code; … Since every translation is a recodification, the act of translation involves at least two codes [matrix code and target code]” (italics as original) (Frawley 1984:160-1).

(8).   “To translate means to express in another language the content of a given text … The objective of translation is to replace the form and to preserve the content of the text. Translation is thus form manipulation with reference to content” (Papegaaij & Schubert 1988:11).

(9).  “As language itself is a translation, the act of recreating language through the reading process constitutes another form of translation” (Schulte & Buguenet 1992:9).

(10).  “Reading is already translation, and translation is translation for the second time” (Gadamer in Schulte & Biguenet 1992:9).

(11).  “… all acts of communication are acts of translation”(Schulte & Biguenet 1992:9).

(12).  “When we learn to speak, we are learning to translate; the child who asks his mother the meaning of a word is really asking her to translate the unfamiliar term into the simple words he already knows” (Paz 1992:152).

(13).  “Each text is unique, yet at the same time it is the translation of another text. No text can be completely original because language itself … is already a translation-first from the nonverbal world, and then, because each sign and each phrase is a translation of another sign, another phrase” (Paz 1992:154).

(14).  “… translation is … implicit in every act of communication, in the emission and reception of each and every mode of meaning, be it in the widest semiotic sense or in more specifically verbal exchanges” (italics as original) (Steiner 1992:xii).

(15). “Translation is, of course, a rewriting of an original text” (Bassnett & Lefevere 1995:vii).

(16).   “Translation can be seen as (co-)generation of texts under specific constraints: relative stability of some situational factors and therefore register, and classically, but not necessarily, change of language and (context of) culture” (Steiner 1996:103).

From the definitional statements above, it may be inferred that there is one thing that the statements all share, that is, translation relates to activities that are performed by humans, not by nonhumans or other species. Secondly, most statements take translation to mean something that is strictly concerned with language, which in this case is human language. In other words, translation is taken primarily-if not obligatorily- to mean a kind of human communication using language (‘language’ in expressions such as “body language” is nonlanguage). Furthermore, most statements treat translation as a particular kind of interlinguistic semiotic communication that typically involves at least two texts in two different languages that carry ‘equivalent’ meaning. This sense of translation may represent the traditionally understood notion of translation.

A few of the above statements explicitly or implicitly offer a wider sense of translation with respect to the kind(s) of semiotic(s) involved, seeing translation as something that may be linguistic or linguistic/nonlinguistic. In this view, if translation is something linguistic (i.e. linguistic semiotic translation), it would be either intralinguistic or interlinguistic semiotic translation. If it is something linguistic/nonlinguistic, it would be interlinguistic/nonlinguistic semiotic translation. This classification of translation phenomena would be roughly equivalent to Jakobson’s (1959:233) intralingual translation, interlingual translation and intersemiotic translation. It should also be noted that the hermeneutically-oriented perspective, as was represented by scholars like Gadamer (in Schulte & Biguenet 1992:9), Paz and Steiner referred to above, applies a subjective or insider method of interpretation on translation, seeing any act of communication as an act of translation. In this view, there would be no human communicative activity which is not translation, and the hermeneuts would regard the generally understood notion of translation as translation of translation (translation for the second time)-or perhaps even as translation of translation of translation.

Translation as text that is seen simply as a kind of linguistic semiotic text that is derived from a previously occurring linguistic semiotic text, as has been explicitly or implicitly indicated by most statements above, raises doubts about our understanding of translation phenomena. If there is a linguistic semiotic text referred to as a translated text (translation) as it were, one may wonder what lies behind a translated text in the first place, which activates, motivates, expands and constrains the translated text in question. The traditional answer would be that it is a source text that lies behind a translated text, from which the translated text is derived and to which it belongs and has to be loyal, and for that matter it is given the status of being a so-called target text, receptor text, or the like. (This is the view that is taken particularly by those who adopt a so-called “source-oriented” perspective; the reverse would be a target-oriented perspective). Then one would allow oneself to be trapped into a vicious circle of talking about naïve notions of equivalence, identicalness, correspondence, sameness, similarity, or the like. Or else, instead of going into the vicious circle of ‘equivalence’ between the source and the target, one may be inclined to go into the extreme pole of ‘untranslatability’ of the source in the target. (Until the mid-1970s, the discourse on translation had focussed on these two extremes).

In conclusion, as far as the theoretical statements above are concerned, scholars have not offered any theoretical frameworks that substantially address and insightfully underpin the notion of translation as system or potential (trans-system) that lies behind translation as instance or actual (trans-instance)-other than offering theoretical statements most of which are inclined to play variants of the same dichotomous source-target pendulum of translation (except the hermeneutically-oriented statements). This implies that our understanding of translation phenomena needs to be critically reviewed. A framework that will enable us to investigate translation not only as instance but also and no less importantly as system needs to be established. Unless the ‘two sides of the same coin’ (translation as instance and system) are put in place, the subject will remain meagre. Particularly for reasons of space, the present paper leaves this question to the readers as food for thought. (For discussion of translation as system (potential) and instance (actual), see Tou 1997, in press).

 3.  Concluding remarks

An attempt has been made to address issues that are associated with the question of translation studies as a discipline, and questions that centre round the notion of translation itself. As a relatively new ‘discipline in its own right that provides rooms for other disciplines to play their parts’, translation studies is still in its developmental phase. Translation studies is more often than not confronted with some problematic theoretical issues hanging around to be resolved. One crucial issue that has to be dealt with is of course the question of translation itself. All scholars agree that the object of translation studies is “translation”, but when they are asked what translation really means they have different answers. While such answers may represent common practice in the world of scholars, they may lead to confusion on the part of people in general. What had been addressed in this paper was not intended to make things worse but to make one aware of what has been going on around us-for the development of our ways of doing, meaning and saying in the world of translation studies and translation.
 

References

Baker, M., 1996, “Linguistics & Cultural Studies: Complementary or Competing Paradigms in Translation Studies”?, in Lauer, A., Gerzymisch-Arbogast, H., Haller, J. and Steiner, E. [eds.], Ubersetzungswissenschaft im Umbruch, Gunter Narr Verlag Tubingen, Dischingerweg, Tubingen, pp. 9-19.

Baker, M., 1998, “Introduction”, in Baker, M. & Malkmkjaer, K. [eds.], Routledge Encyclopedia of Translation Studies, Routledge, London & New York, pp. xiii-xviii.

Bassnett-McGuire, S., 1980, Translation Studies, Methuen Co. Ltd., London & New York.

Bassnett, S. & Lefevere, A., 1995, “General Editors Preface”, in Venuti, L., The Translator’s Invisibility: A History of Translation, Translation Studies Series, Routledge, London & New York, pp. vii-viii.

Casagrande, J.B., 1954, “The Ends of Translation”, in International Journal of American Linguistics, Vol. 20, No. 4, pp. 335-40.

Catford, J.C., 1965, A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied Linguistics, Oxford University Press, London, New York, and Toronto.

Delisle, J. & Cloutier, P., 1995, “Translators and the Invention of Alphabets”, in Delisle, J. & Woodsworth, J. [eds. & dirs.], Translators Through History, John Benjamins Publishing Company & Unesco Publishing, Amsterdam & Philadelphia, pp. 7-21.

de Waard, J. & Nida, E.A., 1986, From One Language to Another: Functional Equivalence in Bible Translating, Nelson, Nashville.

Frawley, W., 1984, “Prolegomenon to a Theory of Translation”, in Frawley, W. [ed.], Translation: Literary, Linguistic, and Philosophical Perspectives, University of Delaware Press, Newark & Associated University Presses, London & Toronto, pp. 159-175.

 

Gutt, E.-A., 1990, “A Theoretical Account of Translation – Without a Translation Theory”, in Target, International Journal of Translation Studies, Vol. 2, No. 2, John Benjamins Publishing Company, Amsterdam & Philadelphia, pp. 135-164.

Gutt, E.-A., 1991, Translation and Relevance: Cognition and Context, Basil Blackwell Ltd., Oxford.

Halliday, M.A.K., 1956, “The Linguistic Basis of a Mechanical Thesaurus: a Paper Presented by the Cambridge Language Research Unit to the October 1956 Conference on Mechanical Translation”, in Mechanical Translation, Vol. 3, No. 3, pp. 81-88 [for Abstracts, see Mechanical Translation, Vol. 3, No. 2, pp. 36-37].

Hartmann, R.R.K. & Stork, F.C., 1972, Dictionary of Language and Linguistics, Applied Science, Amsterdam.

Hatim, B., 2001, Teaching and Researching Translation, Applied Linguistics in Action Series, Pearson Education Limited, Essex.

Holmes, J.S., 1988, in van den Broeck, R. [ed.], Translated!: Papers on Literary Translation and Translation Studies: a Collection of 10 Essays and Papers by the Late Holmes, J.S. [1924 - 1986] [with an Introduction by van den Broeck, R. [ed.]], Editions Rodopi B.V., Amsterdam.

Hullen, W., 1976, “Fremdsprachendidaktic und Linguistische Pragmatik”, in Die Neueren Sprachen 75, pp. 217-229.

Jakobson, R., 1959, “On Linguistic Aspects of Translation”, in Brower, R.A. [ed.], On Translation, Harvard University Press, Cambridge & Massachusetts, pp. 232-239.

Kade, O., 1968, “Kommunikationswissenschaftliche Probleme der Translation”, in Beihefte zur Zeitschrift ‘Fremdsprachen’ 2, VEB Enzyklopadie, Leipzig, pp. 3-19.

Kelly, L.G., 1979, The True Interpreter: a History of Translation, Theory and Practice in the West, Basil Blackwell Ltd., Oxford.

Larson, M.L., 1984, Meaning-Based Translation: a guide to cross-language equivalence, University Press of America Inc., Lanham.

Levy, J., 1969, Die Literarische Ubersetzung: Theorie einer Kunstgattung, Athenaum, Frankfurt.

Lorscher, W., 1989, “Models of the Translation Process: Claim and Reality”, in Target, International Journal of Translation Studies, Vol. 1, No. 1, John Benjamins Publishing Company, Amsterdam & Philadelphia, pp. 43-68.

Malinowski, B., 1965, Coral Gardens and Their Magic: A Study of the Methods of Tilling the Soil and of Agricultural Rites in the Trobriand Islands, Vol. 2, George Allen & Unwin Ltd., London, reprinted as The Language of Magic and Gardening, Indiana University Press, Bloomington, pp. vii-xvii [introduction by  Berry, J.] & pp. 3-74.

Martin, J.R., 1984, “Language, Register and Genre”, in Christie, F. [ed.], Children Writing: reader, Deakin University Press, Victoria, pp. 21-30.

Martin, J.R., 1992, English Text: System and Structure, John Benjamins Publishing Company, Philadelphia & Amsterdam.

Matthiessen, C.M.I.M., 1993, “Register in the Round: Diversity in a Unified Theory of Register Analysis”, in Ghadessy, M. [ed.], Register Analysis: Theory and Practice, Pinter Publishers Ltd., London & New York, pp. 221-292.

Newmark, P., 1991, About Translation, Multilingual Matters Ltd., Clevedon, Philadelphia and Adelaide.

Nida, E.A. & Taber, C.R., 1969, The Theory and Practice of Translation, E.J. Brill, Leiden.

Papegaaij, B. & Schubert, K., 1988, Text Coherence in Translation, Foris Publications, Dordrecht – Holland & Providence RI – USA.

Paz, O., 1992, “Translation: Literature and Letters”, in Schulte, R. & Biguenet, J. [eds.], Theories of Translation: an Anthology of Essays from Dryden to Derrida, The University of Chicago Press Ltd., Chicago & London, pp. 152-162.

Rabassa, G., 1984, “If This Be Treason: Translation and Its Possibilities”, in Frawley, W. [ed.], Translation: Literary, Linguistic, and Philosophical Perspectives, University of Delaware Press, Newark & Associated University Presses, London & Toronto, pp. 21-29.

Neubert, A. & Shreve, G.M., 1994, “Foreword: “A House of Many Rooms”: The Range of Translation Studies”, in Kadishi, D. & Massardier-Kenney, F. [eds.], Translating Slavery: Gender & Race in French Women’s Writing, 1783-1823, Ket State University Press, Ohio, pp. vii-xiv.

Newmark, P., 1988, “Translation and Interpretation: Retrospect and Prospect”, in Grunwell, P. [ed.], Applied Linguistics in Society: Papers from the 20th Anniversary Meeting of the British Association of Applied Linguistics, Held at Nottingham University, Nottingham, September 1987, Centre for Information on Language Teaching and Research for British Association for Applied Linguistics, pp. 30-35.

Rabassa, G., 1984, “If This Be Treason: Translation and Its Possibilities”, in Frawley, W. [ed.], Translation: Literary, Linguistic, and Philosophical Perspectives, University of Delaware Press, Newark & Associated University Presses, London & Toronto, pp. 21-29.

Savory, T., 1968, The Art of Translation, Jonathan Cape Ltd., London.

Schulte, R. & Biguenet, J., 1992, “Introduction”, in Schulte, R. & Biguenet, J. [eds.], Theories of Translation: An Anthology of Essays from Dryden to Derrida, The University of Chicago Press Ltd., Chicago & London.

Sinar, T.S., 2002, An Introduction to a Systemic-Functional Linguistics-Oriented Discourse Analysis, Deezed Consult Singapore (Publishers), Singapore.

Snell-Hornby, M., 1988, Translation Studies: An Integrated Approach, John Benjamins Publishing Company, Amsterdam & Philadelphia.

Steiner, G., 1975, After Babel: Aspects of Language and Translation, Oxford University Press, London, New York, and Toronto.

Steiner, G., 1992, After Babel: Aspects of Language and Translation, Oxford University Press, 2nd edition, Oxford & New York.

Steiner, E., 1996, Systemic Functional Linguistics and Translation – Some Points of Contact: a Paper Presented at the 23rd International Systemic Functional Congress, Held at University of Technology, Sydney (UTS), 15th – 19th July 1996, Sydney, pp. 1-13.

Tou. A.B., 1997, Translational Semiotic Communication: A Transdisciplinary Perspective, A Ph.D. Dissertation, Macquarie University, Sydney.

Tou, A.B., 2003a, Translation Theory and Skills, A Paper Presented at the S2 Program of English Language Studies, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, on 25th June 2003.

Tou, A.B., 2003b, The Dynamics of Trans-cultural Translation, A Paper Presented at the Regional Seminar on Translation Held at Universitas Teknologi Yogyakarta, Organised by Lembaga Pendididkan Penerjemah QTC, Yogyakarta, on 10th August 2003.

Tou, A.B., in press, Towards Translatics: A Framework of Translation Semiotic Communication, An Article to Appear in a Journal Published by the Postgraduate Study Program of the University of Malaya, Kuala Lumpur.

Wilss, W., 1982, The Science of Translation: Problems and Methods, Gunter Narr Verlag, Tubingen.

 

Biodata Penulis:

Asruddin Barori Tou, lahir di Baturaja, 8 Februari 1954. Menamatkan Sarjana Muda 1976 dan Sarjana 1980 bidang Pengajaran Bahasa dan Sastra Inggris di IKIP Yogyakarta, Diploma Pascasarjana 1985 bidang TEFL, M.A. Pass 1986 bidang Linguistik Terapan dan M.A. Honours 1990 bidang Linguistik di Sydney University, dan Ph.D. 1998 bidang Kajian Penerjemahan di Macquarie University dengan disertasi Translational Semiotic Communication: A Transdisciplinary Perspective. Sejak tahun 1978 menjadi staf pengajar di IKIP Yogyakarta, yang sekarang bernama Universitas Negeri Yogyakarta. Hasil penelitian dan karya tulisnya antara lain Translation & Interpreting Program Development through the Feedback from Student Journals, Some Insights from Linguistics into the Processes and Problems of Translation, Bahasa, Konteks dan Teks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial [tr.].

 


[1] A Paper Presented at the National Congress on Translation Held at Tawangmangu, Organised by the Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta, on 15-16 September 2003.

Translation for Subtitles on TV Programs

$
0
0

Moving Images, Duration, Numbers…, Is it all about counting letters?

Chiaki Matsumoto – MMTC
(Sekolah Tinggi Multi Media, Yogyakarta)

 

INTRODUCTION

We see subtitles on screen almost everyday, everywhere; on television, film screen, and nowadays on DVD. Usually the viewers watch the programs and read subtitles without thinking or knowing how the translation has been done. “Subtitle” is the key to understand the meaning of the contents in foreign languages. As a producer and/or a director for visual projects including television programs, you have to be totally responsible for accuracy and clarity of the translated materials. Being faithful to the meaning of interviews, narrations, or any dialogues in original languages is essential.

Any kind of translation involves not only the languages, but also culture in the countries or regions where these languages are spoken. Translation is not only changing writings from one language to another, words by words, or sentences by sentences, but also interpretation of cultural differences. Adding to the complexity of the usual translation, translation for subtitles for films and television programs involves very unique and interesting procedure which does not exist in other works of translation. In this paper I would like to explain how the translation for subtitles, specifically in television programs, is done, based on my working experience.

 

MY EXPERIENCE IN TV PRODUCTION

My first job as a journalist/producer/director started almost 16 years ago at the News Department of a Japanese Television Station in New York City. Work of producer/director is rather complicated to explain. Basically production work is divided by three stages; preproduction, production and post-production. Preproduction includes choosing the topics, making proposals, planning for budget, meetings, scheduling, organizing a whole production, research, followed by writing scripts. Production is mostly shooting on location or in studios. The process of rewriting scripts and editing until the completion of the program is called post-production. Editing requires a great deal of time and work. Visual images are cut into the scenes according to the scripts. Footages shot during the production, footages from the archives, computer graphics, photographs, etc., will be combined in editing with sounds including narration which is called “voice-over” in TV terms, interviews, natural sounds, sound effects, background music, and so on. Subtitling is the last stage of the editing in most cases.

The task of a producer and a director from preproduction to post-production is different, but both work together on the top of the production team. A producer controls the over-all production of the programs. A director creates actually programs and controls contents, the look as well as the quality of the programs.

Being a producer/director at a news department in a foreign country, I was responsible not only for the task which was explained earlier, but also for language translations. From the very first day my work could not be started without. From newspapers, magazines, various kinds of books and other sources in English and Japanese, I translated these articles and writings for my own use. Since the main purpose was to research and collect information for the stories I was producing, the process of the translation was rather simple. It was unnecessary to consider the length of the translated writings or the sound of the sentences. I also had an advantage of knowing the cultural differences after living in the United States for more than 10 years at that time. I understood the meaning literally, as well as social and historical background of the story.

Translation for narrations was also a part of my responsibility. Narrations are not for personal reference, but for the viewers. Needless to say, every sentence has to be refined and clear for anyone who watches the program. Verbal translation was frequently required during the production. My experience, working as an interpreter for various occasions from my time in college, helped me a great deal for interviews and simultaneous translation on location.

Then, my new experience began. For producing Japanese programs in the United States, translation work for subtitles was unavoidable. For the first time, I discovered how difficult and different it was, compared with “translation I used to know”. Ordinary process of translation could not be applied for subtitles. Before continuing to discuss the further details, I would like to make sure one important point. I do not consider translation for other materials, especially literature, is easier than for subtitles. Translation for subtitles is different. In the United States of America it is called “another ball game”.

 

“ANOTHER BALL GAME” – TRANSLATING FOR SUBTITLES ON SCREEN

Many ways of translating for subtitles must exist and there might be books available for guidance. The way I learned was directly from my colleagues at TV stations, watching many programs as examples, and just by trying many times. Therefore, the following method is one of the examples and it is totally from my personal experience making programs, not based on any methods in text books.

Basically there are two stages; Stage I: Translating materials from English into Japanese and vise versa and Stage II: Making subtitles from translated materials. Before Stage I, as the rule of thumb in TV production, you must know how much time you have until “on-air”. Without making realistic planning for production (completing not only subtitles, but also the whole program for broadcast), according to the schedule of on-air, you have a chance to miss the deadline that does not allow any alternatives. In case of a news program, especially live broadcast, you usually do not have much time for subtitles. Translation for subtitles is running with time.

<STAGE I>      Translating materials from English into Japanese and vise versa

Step 1: To translate the sentences literally.

Step 2:   To rewrite considering cultural differences in order to make sense in other languages.

Step 3: To make the sound of the sentences better and more effective

 Although some professional translators might add further steps or more details in addition to the steps I listed above, I would leave it simple and go on to the next stage.

<STAGE II>     Making subtitles from the translated materials

Step A:    To measure the duration in which the subtitles will be applied

Step B:    To calculate numbers of pages can be fit in the duration

Step C:    To check edited images and numbers of shots are used

Step D:    To divide translated sentences into the numbers of pages and see if all can be fit

Step E:    To adjust numbers of letters and lines according to the basic rules by trimming the sentences and choosing the most suitable words

Step F:    To type up sentences using a special system in computer and add them to the edited sequences

Step G:    To check if the meaning in original language is not lost and revise the sentences

Step H:    To consider the differences in languages and expressions in different culture, history, and customs are suitable and comprehensible

Step I:    To make all sentences even better

Since the steps written above are not easily understood without seeing an example, I would like to explain step by step, using some clips from the programs I directed. Most frequently, subtitles are used for interviews.

<Video Clips>

1)      Fuji Television

“New York Trend – Henna Body Painting”             English to Japanese

2)      UNDP (The United Nations Development Program)

“Cambodia: Women in Post-conflict Reconstruction”          Khmer to English

 

- Please see the details in attached papers.-

Step A:  To measure the duration in which the subtitles will be applied

This is the fist step. Without knowing the duration it is impossible to begin. Needless to say, if there is an interview for 10 seconds, you have to complete your subtitles within that time limit.

Step B:  To calculate numbers of pages can be fit in the duration

In case of Japanese and English, according to the standard rules of television, the viewers need 3 to 5 seconds to read 1 line of subtitles, depending on the length of the sentence and its content. For 2 lines, approximately 5 to 8 seconds are needed.

Step C:  To check edited images and numbers of shots are used

You do not have to change pages of subtitles according to “the numbers of cuts in editing”, however, you have to keep the rhythm of flow.

Step D:  To divide translated sentences into the numbers of pages and see if all can be fit

Simply people talk faster than reading letters. Therefore, in most cases the translated sentences do not fit in the limited duration or numbers of pages. It is important to see the main point and what you would like to report to the viewers.

Step E:  To adjust numbers of letters and lines according to the basic rules by trimming the sentences and choosing the most suitable words

In Japanese programs, usually 17 letters in one line on screen are common and mostly 1-2 lines in 1 page are considered to be “reasonable”. These rules are based on the visual ability of the human beings. Naturally, if 1 shot or 1 image is crowded with a lot of information, the viewers take longer to understand the meanings in the shot. That could lead to an unwanted direction of loosing the track of the story. Less and effective information is preferable. Rarely the sentence is displayed in 3 lines, but it can be done according to the situation, if necessary. Although, it is preferable to complete each sentence in one page, the sentence can be divided into more than 2 pages.

The same rule can be applied for English subtitles, but the numbers of the letters in 1 line is basically limited to 45 or less.

Step F:  To type up sentences using a special system in computer and add them to the edited sequences

Then, you have to see all the sentences in every page as well as the whole scene, make sense. From this point you will do all the adjustment on the screen in order to see the result with visual images and sounds.

Step G:  To check if the meaning in original language is not lost and to revise the sentences

By shortening sentences, many words have to be eliminated and often meaning of the sentences changes without any intention of translators. It is not easy to find the perfect words or expression in a limited space. Creativity?and artistic sense of the translators are the key to solve the difficulties of this process.

Step H:  To consider the differences in languages and expressions in different culture, history, and customs are suitable and comprehensible

Most of the time, this step is done simultaneously with Step G. Information about history, geographic locations, names of famous people or celebrities, traditions, customs, habits, etc. that are very common to certain viewers is not necessarily familiar to the others. It all depends on the area of the broadcast and the viewers. For example, how many foreigners know where Borobudur and Prambanan are located before visiting Indonesia? Maybe very few people have knowledge of the geographic locations of the ruins. If the programs will be aired in foreign countries, you must include the necessary information for the viewers, even the locations are not mentioned in the text,. Otherwise, they might be confused. Even if the programs are aimed for national broadcast, you must consider the viewers in all the regions in the country. For example, not all the people from Kalimantan would know how the traditional wedding ceremony will take a place in Solo or Yogyakarta including Javanese language.

Step I: To make all sentences even better

This last step is taken in any kind of translation, I believe. We all struggle to revise after revise until we find the best suitable expression.

Before finishing up, check IF:

  1. The main point of what the person in interview would like to say or express is clear.
  2. In each page visual image and subtitles do not conflict each other and the flow of the editing with subtitles is smooth.
  3. The viewers can read and understand the meanings without any difficulty.
  4. What you, a producer or a director, would like to deliver to the viewers through this interview is clear.

Finally, after the elaborate work of completing all subtitles, you have to check the result by watching the whole program from the beginning to the end. Sometimes the process of editing for a short story in a news program has to be done within 2 hours. In the case of “running with time”, is it necessary to consider the artistic aspect of translation to complete the process of making subtitles?

 

CONCLUSION

Translating many interviews for my work in such a short time, I often had a feeling about translation for subtitles on television programs is all about considering moving images, worrying about duration and counting numbers of letters. In a limited time, it is easy to get lost in the situation of “just complete your job”. However, I quickly realized that by translating sentences mechanically and literally for presenting the basic meaning to the viewers, the message contained in the program would not be delivered effectively. The deeper level of understanding cultural differences and artistic sense of refining sentences can offer to the viewers much more than just basic meaning of the contents.

From visiting and filming in almost 30 countries for business and personal pleasure, I acquired more knowledge about an interesting complexity in translating languages. Traveling around the world opened up a new door in my life. The more I observed, the more I learned about new cultures. The more I experienced different customs, the more I understood about people, history, and languages. Languages are alive. They constantly change with time as people change their way of living. Change can be occurred by development of technology. Commercial influences also affect the trends of languages, especially colloquial style.

Translation in general is a work of art. It involves many aspects of human life. There is no limitation in imagination and creativity. We, as human beings, are able to expand our potential to create. Creativity of a painter has no boundary. Even though the size of the canvas is small, within a limited space, the painter can freely express his/her ideas, feelings, desires, and imagination.

Translation for subtitles on screen has many concerns and limitations as I explained earlier step by step. From the procedure, it seems like a mechanical process, however, just like the paintings by the artists, translations for screen cannot be limited because of the space or duration of the segments. Subtitles play an important role in the programs. Subtitles give information to the viewers and at the same time, share the cultural differences. Translation for screen is translation of culture. And it is a reflection of the knowledge, creativity, and imagination of the translators.

 

Penerjemahan Buku Teks Di Indonesia

$
0
0

PROSPEK, HAMBATAN DAN KOMITMEN.[1]

Oleh: Tuntun Sinaga

Pendahuluan

1. Pelaksanaan Kongres Nasional Penerjemahan kali ini, sebagaimana tampak dari  topik-topik yang diajukan,  mengisyaratkan pentingnya kegiatan penerjemahan semakin ditumbuh-kembangkan  sebagai  bagian dari upaya menjawab tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini khususnya dalam dunia pendidikan, transfer ilmu dan teknologi pada era globalisasi. Penerjemahan buku teks dalam berbagai bidang ilmu di perguruan tinggi sudah lama dirasakan urgensinya dan telah dilaksanakan dengan berbagai capaian dan kendala.

2. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penerjemahan di Indonesia dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain, kurangnya minat para  penerjemah karena imbalan yang kurang menarik, tingginya biaya hak cipta buku sumber bagi para penerbit, dan kurangnya penerjemah yang handal dalam berbagai bidang ilmu. Permasalahan penerjemahan seperti itu perlu ditanggapi dengan komitmen dari berbagai pihak yang terkait, khususnya di perguruan tinggi, sehingga dunia penerjemahan yang melibatkan teori, praktek dan aspek profesionalisme semakin berkembang dan bermanfaat bagi bangsa ini.

Realitas Praktek Penerjemahan di Indonesia

1. Dalam konteks Indonesia penerjemah, setidaknya, dapat diidentifikasi sbagai berikut[2]:

a)      Penerjemah yang bekerja pada penerbit

b)      Penerjemah yang bekerja pada Biro penerjemah

c)      Penerjemah lepas, dalam hal ini bisa individu termasuk dosen  yang produk kerjanya bisa untuk klien perorangan, umum maupun penerbit.

Berdasarkan kategori di atas para penerjemah buku teks di Indonesia adalah pada umumnya mereka yang berprofesi dosen, sedangkan pembacanya secara umum adalah para mahasiswa dan dosen itu sendiri.  Pemerintah Indonesia, melalui Dirjen Dikti, telah melakukan penerjemahan buku berbahasa asing dalam berbagai disiplin ilmu dan umumnya dipublikasikan oleh penerbit-penerbit perguruan tinggi. Berdasarkan data(1991)  jumlah buku  teks yang diterjemahkan oleh para dosen dan diterbitkan oleh berbagai penerbit perguruan tinggi di Indonesia rata-rata 20 judul buku per tahun, lebih rendah daripada yang ditargetkan.

2. Penerbit buku-buku teks, di luar penerbit perguruan tinggi pada umumnya adalah perusahaan penerbitan yang sudah mapan seperti Gramedia, Mizan, dan penerbitan swasta lainnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa pertimbangan dan keputusan untuk menerbitkan sebuah buku terjemahan bagi penerbit umum biasanya didasarkan lebih banyak pada aspek keuntungan. Buku yang diperkirakan tidak banyak peminatnya tentu saja tidak menjadi pilihan penerbit swasta.. Selain itu, buku-buku terjemahan terbitan penerbit umum belum mencakup semua disiplin ilmu  yang  ada dalam program perguruan tinggi.

3. Dalam sebuah survei yang penulis lakukan di perpustakaan pusat Universitas Lampung ditemukan bahwa dari rata-rata mahasiswa yang membaca di perpustakaan, 144 orang perhari, hanya 15 orang yang membaca atau meminjam buku teks dalam bahasa aslinya(Bahasa Inggris). Pada hal,  dari jumlah buku teks berbahasa Inggris yang tersedia di perpustakaan, hanya sebagian kecil yang dibaca atau dipinjam oleh mahasiswa dan dosen. Ketika para mahasiswa ditanyakan alasan mengapa mereka kurang membaca buku-buku teks berbahasa Inggris, sebagian besar menjawab bahwa mereka kurang memiliki kemampuan  bahasa Inggris. Sudah menjadi pengetahun umum bahwa kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa perguruan tinggi tergolong rendah [3], [4]

4. Kenyataan yang disajikan di atas tidak saja menunjukkan realitas tentang lemahnya penguasaan bahasa asing mahasiswa Indonesia, tetapi (yang lebih relevan di sini) juga bahwa penerjemahan buku-buku teks masih sangat  diperlukan. Selain itu,  buku teks terjemahan perlu mencakup semua bidang ilmu. Hal ini tentu saja tidak kondusif bagi percepatan alih ilmu pengetahuan , teknologi dan informasi bagi bangsa Indonesia

 Prospek Pengembangan Penerjemahan

  1. Pesatnya perkembangan ipteks khususnya di negara-negara Barat dan Amerika dan termasuk negara Jepang secara dominan menggunakan Bahasa Inggris sebagai alat penyebarannya. Perkembangan ipteks ini secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi bidang-bidang lain seperti ekonomi-perdagangan, hubungan internasional. Dengan realitas adanya kesulitan bahasa asing bagi  orang Indonesia, maka projek  penerjemahan menjadi pilihan yang sangat realistis dan “ murah” untuk mengakses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
  2.  Penerbit umum di Indonesia cenderung memilih buku-buku umum untuk diterjemahkan. Kecenderungan penerbit ini, dengan demikian, membuka peluang besar  dalam usaha penerjemahan secara umum dan penerbitan buku-buku teks bagi penerbit-penerbit perguruan tinggi.
  3.  Sejauh ini, paling tidak, ada tiga institusi pendidikan yang menyelenggrakan program pendidikan magister penerjemahan:  Fakultas Sastra Universitas Gunadarma,  UNS, dan Udayana. Kehadiran institusi ini menunjukkan bahwa penerjemahan dipandang berperan strategis dan relevan dalam pembangunan Indonesia. Dengan kehadiran program ini, sesuai dengan visi-misinya, aspek teori, praktek, profesionalisme dan riset penerjemahan diharapkan akan semakin berkembang di Indonesia, yang pada gilirannya diharapkan dapat berimplikasi pada perkembangan proyek penerjemahan, khususnya penerjemahan buku teks.
  4.  Berkat perkembangan teknologi media (IT), saat ini sedang digalakkan On-line Library (Perpustakaan Tersambung?) di negara-negara maju yang dapat diakses oleh siapa saja di berbagai belahan dunia..  Dengan dukungan modal dan peran aktif pemerintah, lisensi perpustakaan ini dapat dibeli untuk selanjutnya seluruh materinya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dalam bentuk CD atau On-line Library berbahasa Indonesia. Penerjemahan buku kedalam bentuk CD atau media elektonik lainnya mungkin jauh lebih murah, efektif dan efisien dibanding dalam bentuk buku cetak Selain itu, peran mesin penerjemah, misalnya Trans Tool, masih dapat dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya untuk dapat digunakan (oleh para penerjemah)  secara optimal.
  5.  Secara lebih luas, produk penerjemahan dapat berperan sebagai jembatan atas kesenjangan pengetahuan masyarakat secara umum  terhadap negara-negara di dunia, khususnya negara-negara mitra utama kita dalam pengembangan iptek dan komunikasi. Dengan demikian bidang-bidang yang besar peluangnya dalam penerjemahan seperti bisnis, perdagangan, turisme, masyarakat ekspatriat(komunitas internasional), konfrensi-konfrensi internasional dapat ditangani.

 Kendala-Kendala  Penerjemahan Buku

Di samping berbagai prospek besar sebagaimana tergambar dari uraian sebelumnya, terdapat berbagai kendala yang dihadapi dalam upaya penerjemahan buku-buku teks di Indonesia.

 1.      Kendala Objektif dan Subjektif

Kendala objektif

 a)      tingginya biaya hak cipta buku sumber bagi para penerbit,

b)      masalah terminologi  bahasa dan sains

c)      keterbatasan waktu (;dalam hal  menerjemahkan buku) yang melibatkan penerbit, penerjemah dan editor, pemegang hak cipta, penerbit dan penerjemah sampai produksi buku.

d)      kecenderungan para penerbit memilih buku-buku umum untuk terjemahkan terkait dengan belum bergairahnya penulis buku di Indonesia dengan berbagai alasan seperti, pelanggaran HAKI, honor kecil, dll.[5]

Kendala Subjektif

a)      kurangnya minat para  penerjemah karena imbalan yang kurang menarik,

b)      kurangnya penerjemah yang handal baik dalam penguasaan bahasa maupun dalam berbagai bidang ilmu

c)      Kurang (belum) berperannya asosiasi untuk menjembatani penerjemah dengan “pasar” .

2. Profesionalisme  dalam bidang apa pun biasanya terkait dengan kode etik, adanya asosiasi profesi, standard produk terjemahan dan balikan (honor penerjemah) yang standard. Dalam konteks praktek penerjemahan di Indonesia, semua ini masih merupakan hambatan atau kendala. Dalam hal kode etik[6], misalnya, para penerjemah belum memilikinya – setidaknya tidak tersosialisasikan kalau pun ada. Hal ini tentu saja berimplikasi pada kurangnya pengakuan profesi penerjemah di Indonesia dan menjadikan penerjemah kurang memiliki “bargaining power”.

Selain itu, kenyataan bahwa imbalan yang diterima oleh para penerjemah Indonesia masih tergolong rendah. Sebagian penerbit di Yogyakarta memberikan honor penerjemah berkisar antara Rp. 7500 hingga Rp 35.000, perlembar, tergantung tingkatan kemampuan penerjemah menurut subjektifitas penerbit yang bersangkutan.[7] Bandingkan misalnya dengan  Australia, tarif jasa terjemahan di Australia, dikutip dari standard  yang dibayar oleh Victorian Interpreting and Translating Service (VITS), salah satu biro yang paling besar di negara bagian Victoria, Australia:
Standard Translations:   $16.00 per hundred words.
Complex Translations: $18.00 – $20.00 per 100 words.
Technical Translations: $20.00 – 25.00 per 100 words.
Highly Complex Translations: $25.00-35.00 per 100 words.
Untuk proyek terjemahan lebih dari 5,000 kata, klien dan penerjemah bahkan dapat menegosiasikannya.[8]

Komitmen

 1. Jika disepakati bahwa proyek penerjemahan dapat kita jadikan sebagai salah satu proyek pencerdasan bangsa maka tidaklah berlebihan jika para penerjemah, HPI(Himpunan Penerjemah Indonesia) dan institusi-institusi yang peduli dengan percepatan transfer ilmu dan teknologi mendorong pemerintah untuk menyediakan anggran khusus( boleh untuk periode tertentu, misalnya 1 atau 2 tahun anggaran) bagi proyek penerjemahan. Proyek penerjemahan ini dapat dirancang untuk menghasilkan suatu produk terjemahan secara besar-besaran (semacam gerakan percepatan transfer ilmu dan teknologi) dalam konteks peningkatan sumber daya manusia di Indonesia. Hal yang sama dalam sejarah  pernah dilakukan oleh Jepang pada masa-masa awal kemajuan Ipteknya.

2. Sebagai satu-satunya asosiasi penerjemah  di Indonesia, HPI yang secara resmi terbentuk tahun 1974 mestinya dapat berperan sebagai pendukung dan pemberi arah praktek penerjemahan serta menetapkan visi dan kode etik penerjemahan di Indonesia. Misalnya, asosiasi ini dapat berperan  “mengolah” dan menyebarkan informasi kepada seluruh anggotanya tentang proyek terjemahan,  mempublikasikan perkembangan teori dan praktek dan aspek profesionalisme, menyusun data base penerjemahan yang dapat dimanfaatkan para penerjemah. Untuk memantapkan eksistensinya, HPI dapat merekrut  atau membentuk tim yang memiliki latar belakang multidisiplin dan kepakaran yang berbeda seperti,  kelompok sains, sosial dan humaniora.

Peran lain yang dapat dimainkan oleh asosiasi ini, antara lain;

a)      mengadakan pelatihan-pelatihan seperti seminar, lokakarya yang bertema ekonomi, hukum, sains, hubungan internasional – mungkin bekerjasama dengan instansi lain yang terkait

b)      menjembatani atau menjalin kerjasama dengan berbagai institusi( dalam dan luar negeri), pemodal,  penerbit, penerjemah dll

c)      Membangun pengakuan atas profesi dan asosiasi penerjemah di Indonesia(capacity building)

d)      Mendorong untuk terbentuknya semacam Dewan/Komisi seleksi buku-buku teks dan teks-teks lainnya, bandingkan, misalnya, dengan ITNM (Institut Terjemahan Negara Malaysia)

e)      dll

 Simpulan

1. Penerjemhan buku teks di Indonesia perlu terus digalakkan sebagai  salah satu upaya memperlancar transfer ilmu pengetahuan, teknologi dan  informasi.  Pengembangan teori, praktek dan profesionalisme penerjemahan melalui institusi pendidikan dan pelatihan penerjemahan selain perlu terus dikembangkan, juga perlu didorong dengan kebijakan-kebijakan pemberdayaan dari pihak-pihak terkait  sehingga penerjemahan ini dapat semakin berperan dalam mendorong perkembangan ilmu dan teknologi secara umum dan memberikan manfaat secara praktis bagi masyarakat.

2. Pertimbangan keuntungan dari penerbit  umum dalam memilih dan memutuskan buku yang akan diterjemahkan dapat diatasi dengan mengfungsikan dan memberdayakan penerbit-penerbit institusi pendidikan(perguruan tinggi) yang relatif lebih mempertimbangkan kepentingan  dan kebutuhan “konsumen” sesuai dengan bagian misinya,  pendidikan dan pengabdian. Hal ini tentu saja membutuhkan dukungan finansial dari pemerintah.

3. Keberadaan asosiasi(wadah) penerjemah, seperti HPI, perlu diefektifkan  untuk menjadi sebuah institusi yang dapat memberdayakan para penerjemah yang ada dan berperan untuk menjembatani berbagai pihak yang terkait.  Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah menjalin kerjasama diantara penerjemah(asosiasi) dengan penerbit-penerbit baik swasta maupun negeri( penerbit perguruan tinggi), menyusun kode etik penerjemah serta memberi masukan terhadap pengambil kebijakan dalam pengadaan buku-buku teks, khususnya buku teks terjemahan.

 

Daftar Bacaan

  1. B. H. Hoed, Ceramah pada Lokakarya Penerjemahan III (IPTEK), PPPJ-FSUI, Jakarta, 18 dan 19 Januari 1993
  2. http //: www.ausit.org
  3. Kompas  Selasa, 16 Juli 1996
  4. Kompas, Juamat 19 Juli 1996
  5. Machaeli, R. Pedoman Bagi Penerjemah,Grasindo, 2000
  6. Picken, Catriona, The Translators HandBook, Aslib, London, 1983.
  7. Sakri, Adjat, Ihwal Menerjemahkan, Penerbit ITB, Bandung, 1984.
  8. Samuael-Brown Geoffrey  A Practical Guide for Translators (Third Edition) , UK. 1998

 

Biodata

Nama : Tuntun Sinaga

Alamat Kantor  : Jurusan Bahasa dan Seni, Prog. Bahasa Inggris, FKIP, Unila Gedungmeneng, Bandarlampung, HP. 08127917328, toens@telkon.net,

Pendidikan

Menyelesaikan S1 Pend. Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Lampung. 1985, Post-Graduate Dipl in Applied Linguistics, RELC Singapore 1990, Post-Graduate Dipl in Translation and Interpreting, Deakin University, Australia  1992 dan S2 Sastra dan Budaya , Universitas Indonesia 1998

Pengalaman

  1. Pengajar  pada bidang Sastra dan Terjemahan,  PS B. Inggris., FKIP, Unila 1985-sekarang
  2. Dosen tamu pada  Program Magister Sastra, Peminatan Penerjemahan, Universitas   Gunadarma, Jakarta
  3. Juru Bahasa (Interpreter)  pada “International Seminar Series “ April 2002, Jakarta
  4. Penerjemah sejak  tahun 1993  – sekarang. Buku-buku  terjemahannya, antara lain,

a)      101 Cara menjadi Manajer yang Lebih Andal, Pustaka Tangga, 2000

b)      Jendela IPTEK:  Materi,  Balai Pustaka. Jakarta . 1997

c)      Jendela IPTEK: Kimia, Balai Pustaka. Jakarta. 1997

d)      Kiat Manajer Memecahkan Masalah, Mitra Utama Jakarta 1996

e)      Pedoman Menulis Otobiografi, Pustaka Tangga, Jakarta, 1998

f)        Pemimpin Dalam Diri Anda, Mitra Utama Jakarta,  1996

g)      Pengarang dalam Sastra Melayu, Proyek Penerjemahan Buku Pusat Bahasa, Jakarta, 1993

 

 


[1] Disampaikan pada Kongres Nasional Penerjemahan, Tawangmangu, Solo 15-16 September 2003

[2]  Untuk kategori atau jenis penerjemah secara lebih luas lihat Catriona, Picken. The Translators HandBook, Aslib, London, 1983 hal 4-17

[3.] Penulis melakukan wawancara terhadap  mahasiswa yang mengunjungi Perpustakaan Pusat Universitas Lampung. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan , antara lain, 1) Apakah anda selalu menemukan buku-buku teks yang anda perlukan di perpustakaan? 2. Mengapa anda tidak pernah membaca/meminjam buku teks dalam bahasa Inggris, 3) Apakah menurut anda buku teks berbahasa Inggris perlu diterjemahkan untuk  mahasiswa ?

[4] Data TOEFL mahasiswa  dari Balai Bahasa, Universitas Lampung

[5] Pemberlakuan HAKI 29 Juli 2003 yang lalu ditanggapi secara pesimistik oleh banyak kalangan.

[6] Ausit ‘s Code of ethics  General principles:  no. 3. Competence
Interpreters and translators shall undertake only work which they are competent to perform in the language areas for which they are “accredited” or “recognised” by NAATI.

[7] Lihat Kompas Sabtu 24 Maret 2003, hal 40. “Buku Terjemahan Sekadar Komoditas”

[8]  Penulis meminta data ini  melalui e-mail dari Barry Turner Sabtu, 09 Agustus, 2003, seorang penerjemah profesional di Melbourne Australia, bandingkan Samuael-Brown Geoffrey  A Practical Guide for Translators (Third Edition) , UK. 1998 hal. 39

 

Perihal Kata Yang Tidak Mendapatkan Padanan Yang Tepat Dan Kesulitan Menyusun Sebuah Kamus Dwibahasa Prancis – Indonesia

$
0
0

Tito Wojowasito
Universitas Indonesia

Abstrak:

Keterbatasan ruang sebuah kamus serta keinginan penyusunnya untuk memuaskan seluruh pengguna kamus memberikan kesulitan tersendiri di dalam pembuatannya. Dari hasil pengalaman menyusun kamus dwibahasa Prancis-Indonesia dan dari beberapa pengamatan yang dilakukan, saya melihat banyaknya kata-kata entri dalam kamus maupun ungkapan-ungkapan yang ada di dalam artikelnya tidak mendapatkan padanan yang tepat dan sesuai dengan konteksnya di dalam bahasa Indonesia. Faktor-faktor tertentu yang menghambat di antaranya adalah: 1 adanya perbedaan budaya antara budaya Prancis dan budaya bahasa sasaran (Indonesia); 2 tidak tersedianya perangkat leksikal yang ‘memadai’ sehingga proses alih bahasa itu tidak bisa terlaksana dengan baik; 3 mengingat bahwa kamus merupakan sebuah wadah yang sangat terbatas, maka tidak semua kata yang mewakili makna-makna kontekstual bisa disajikan di dalam kamus; 4 karena bahasa itu berevolusi, maka sering terjadi padanan dalam kamus tidak sesuai lagi dengan jamannya.

Pada dasarnya seorang penyusun kamus harus dapat memberikan satu padanan yang tepat, sehingga padanan-padanan itu bisa langsung digunakan oleh pengguna kamus dengan baik. Cara yang mungkin bisa digunakan adalah dengan memberikan beberapa alternatif padanan, sehingga pengguna kamus dapat menentukan sendiri kata mana yang akan digunakan di dalam penerjemahannya. Apabila terdapat kata-kata bahasa sumber yang tidak mendapatkan padanannya di dalam bahasa sasaran, maka salah satu jalan keluar yang dilakukan oleh penyusun kamus adalah dengan menggunakan kata pinjaman, penerjemahan harafiah, terjemahan penyusun kamus sendiri dan padanan penjelasan.

Kesimpulan yang bisa diambil sementara adalah tidak ada satu kamuspun yang sempurna, yang bisa memuaskan seluruh penggunanya. Ketidaksempurnaan itu disebabkan oleh adanya keterbatasan di dalam penyusunan sebuah kamus. Keterbatasan itu di antaranya adalah keterbatasan ruang, keterbatasan budaya, keterbatasan perangkat leksikal, munculnya kata-kata atau istilah-istilah baru, dan akibatnya terdapat kata-kata yang tidak mendapatkan padanannya yang tepat dan sesuai di dalam kamus.

1. Pendahuluan.

Kamus[1] dan kegiatan penerjemahan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Pertama, pada saat kita sedang menerjemahkan suatu teks dan kita dihadapkan oleh satu kesulitan mendapatkan padanan, maka pertama kali yang kita lakukan adalah mencari padanan kata asing tersebut di dalam kamus. Kamus menjadi suatu alat untuk mendapatkan padanan dari kata bahasa sumber yang kita cari. Seringkali pula kita harus menggunakan beberapa kamus apabila kata-kata yang kita cari padanannya tidak kita dapatkan dalam kamus tersebut atau padanan kata di dalam kamus tersebut kita anggap tidak sesuai dengan teks yang sedang kita terjemahkan tersebut. Terlebih lagi apabila kata-kata yang kita cari itu berkaitan erat dengan istilah-istilah khusus pada bidang-bidang tertentu. Penggunaan beberapa kamus ini sering terjadi karena penerjemah berusaha untuk mendapatkan padanan yang tepat agar hasil terjemahannya baik. Kedua, penyusunan sebuah kamus itu juga merupakan suatu kegiatan penerjemahan. Suatu kegiatan untuk mendapatkan padanan yang memiliki makna yang sama seperti makna yang terdapat pada kata bahasa sumbernya. Seorang penyusun kamus selalu berusaha agar padanan-padanan yang disajikan di dalam kamusnya dapat memenuhi kebutuhan penggunanya, dan dapat digunakan dalam kegiatan penerjemahan mereka. Penyusun kamus ibaratnya sebagai seorang penyedia kata padanan dimana dia harus siap menyajikan semua kata-kata padanan yang diminta atau dibutuhkan oleh pelanggannya. Seandainya padanan-padanan yang dibutuhkan oleh pengguna kamus itu tidak tersajikan dengan baik, dia harus bisa memberikan jalan keluar agar para pengguna kamus itu bisa mencari sendiri kata yang dibutuhkannya yang sesuai dengan teks yang sedang diterjemahkannya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam menerjemahkan, padanan-padanan yang didapatkan pada saat menerjemahkan suatu teks akan bisa memperkaya artikel suatu kamus[2]. Masalahnya, yang sekaligus menjadi tujuan utama penyusunan kamus, adalah bagaimana sebuah kamus itu bisa memuaskan para penggunanya, bisa menyajikan semua kata padanan yang dapat digunakan oleh penggunanya, bisa memberikan pelayanan yang maksimal bagi para pelanggannya, mengingat bahwa ada keterbatasan di dalam penyusunan sebuah kamus. Keterbatasan itu di antaranya adalah keterbatasan ruang, keterbatasan yang berkaitan dengan budaya, keterbatasan perangkat leksikal bahasa sasaran, munculnya kata-kata dan istilah-istilah baru, interjeksi dan ungkapan-ungkapan fatis, dan sebagainya. Keterbatasan-keterbatasan itu menjadikan kamus itu ‘tidak lengkap’. Berdasarkan pada anggapan bahwa seorang penyusun kamus adalah seseorang yang dianggap tahu segalanya, tulisan berikut ini memperlihatkan secara garis besar keterbatasan-keterbatasan yang sering dihadapi oleh penulis di dalam pengalamannya menyusun sebuah kamus dwibahasa Prancis-Indonesia.

 2. Keterbatasan ruang.

Kamus sangat dibatasi oleh ketersediaan ruang atau tempat. Terbatasnya ruang ini menyebabkan seorang penyusun kamus tidak dapat menyajikan seluruh entri, sub-entri maupun padanannya di dalam sebuah kamus, agar secara praktis kamus itu dapat memberikan efisiensi yang maksimal bagi para penggunanya[3]. Apabila entri tourisme pada kamus pariwisata bisa diikuti oleh sekitar 80 sub-entri: autocar de tourisme, avion de tourisme, bureau de tourisme, centre de tourisme, école de tourisme, expert de tourisme, faire du tourisme, grand tourisme, hôtel de tourisme, industrie du tourisme, office du tourisme, organisme de tourisme, pays de tourisme, professionnel du tourisme, résidence de tourisme, tourisme à courte distance, tourisme actif, tourisme aérien, tourisme à faible distance, tourisme à grande distance, tourisme à la campagne, tourisme à la ferme, tourisme à l’étranger, tourisme associatif, tourisme automobile, tourisme balnéaire, tourisme blanc, tourisme chez l’habitant, tourisme collectif, tourisme commercial, tourisme culturel, tourisme d’accueil, tourisme d’affaires, tourisme d’agrément, tourisme d’art, tourisme d’aventure, tourisme de congrès, tourisme de croisière, tourisme de loisirs, tourisme de luxe, tourisme de masse, tourisme de montagne, tourisme de passage, tourisme de plein air, tourisme de rencontre, tourisme d’escale, tourisme de santé, tourisme d’été, tourisme d’hiver, tourisme écologique, tourisme émetteur, tourisme en ligne, tourisme estival, tourisme ferroviaire, tourisme fluvial, tourisme gastronomique, tourisme hivernal, tourisme industriel, tourisme intérieur, tourisme international, tourisme interne, tourisme itinérant, tourisme marchand, tourisme militaire, tourisme national, tourisme pédestre, tourisme réceptif, tourisme religieux, tourisme rural, tourisme scolaire, tourisme sexuel, tourisme social, tourisme sous-marine, tourisme spatial, tourisme sportif, tourisme technique, tourisme thermal, tourisme urbain, tourisme vert, voiture de tourisme, maka, mengingat terbatasnya ruang, di dalam kamus umum sub-entri itu tidak semuanya bisa ditampilkan. Entri tourisme berpadanan hanya dengan kata pariwisata atau wisata. Dengan hanya satu padanan itu saja kita bisa mencari padanan-padanan lain yang berbentuk komposisi, misalnya tourisme culturel ‘wisata budaya’, tourisme religieux ‘wisata ziarah’, dan seterusnya, dengan mencari padanan culturel dan religieux pada entri kata tersebut.

Padanan penjelasan[4] sebaiknya harus dibatasi, terutama pada kamus-kamus yang berfungsi sebagai kamus aktif[5]. Kata tartar yang berarti ‘daging cincang mentah yang disajikan sebagai menu istimewa di restoran Prancis’ akan menyita banyak tempat di dalam kamus dan tidak efektif. Begitu pula kata bateau-mouche ‘kapal penumpang untuk pesiar di sungai Seine Paris’[6] tidak sekedar bisa dipadankan dengan kapal atau perahu saja. Kata itu memerlukan padanan berupa penjelasan. Kesulitan yang dihadapi oleh penyusun kamus adalah bagaimana mendapatkan padanan yang singkat dan tepat tanpa mengurangi makna yang terdapat di dalam kata bahasa sumbernya dan tanpa menyita ruang yang terlampau besar.

 3. Keterbatasan budaya.

Yang dimaksudkan dengan keterbatasan budaya di sini adalah ketidakmampuan mencari atau mendapatkan kata padanan di dalam bahasa sasaran yang dikarenakan oleh hambatan-hambatan budaya. Kata camembert di dalam bahasa Prancis mendapatkan padanan nama jenis keju[7]. Makna kata tersebut sebenarnya adalah ‘keju yang dibuat dari susu sapi, lembut, berbentuk bulat dan berasal dari daerah Normandi’. Masyarakat Prancis memiliki banyak sekali perbendaharaan kata yang berkaitan dengan fromage ‘keju’, di antaranya adalah cancoillotte, mimolette, emmenthal, gruyère, comté, roquefort, dsb. Dalam hal seperti ini seorang penyusun kamus sulit sekali memberikan padanan terjemahan yang tepat[8], karena kita tidak memiliki kata yang maknanya bisa mewakili semua kata-kata itu. Akibatnya semua jenis keju yang jumlahnya lebih dari 200 itu hanya bisa memiliki padanan keju, nama jenis keju, atau sej. keju saja di dalam kamus.

Agar lebih jelas, kata-kata yang berkaitan dengan budaya ini sering menggunakan padanan penjelasan atau padanan deskriptif. Dan bahkan sering pula kata-kata ini tidak mendapatkan padanannya di dalam bahasa sasaran atau dikatakan berpadanan nol[9]. Akibatnya seorang penerjemah terpaksa menggunakan kata atau istilah pinjaman dari bahasa sumber dengan memberikan penjelasan atau parafrase[10].

 4. Keterbatasan perangkat leksikal bahasa sasaran.

Keterbatasan perangkat leksikal juga menjadi penghalang untuk memperoleh padanan yang tepat. Kata perforateur, yang mengacu pada alat perkantoran dan berfungsi untuk melubangi kertas, sama sekali tidak mendapatkan padanan di dalam bahasa Indonesia dikarenakan tidak adanya perangkat leksikal yang dapat dijadikan padanan. Kata pengawin sebagai padanan dari kata agrafeuse tampak seperti dipaksakan, atau mungkin harus seringkali diperkenalkan dalam penggunaan sehari-hari agar kita terbiasa oleh kata itu. Tidak adanya padanan ini karena tidak tersedianya perangkat leksikal di dalam bahasa sasaran. Keterbatasan perangkat leksikal ini sering berkaitan dengan produk-produk teknologi yang dihasilkan oleh negara bahasa sumber.

 5. Munculnya kata-kata atau istilah baru.

Kata-kata seperti pelantang, memunggah, dan sebagainya., belum banyak ditemukan di dalam kamus-kamus yang ada sekarang. Demikian pula kata-kata seperti budidaya, pembudidayaan, nilai tambah, berhasilguna, tepat guna dan sebagainya, belum atau belum banyak ditemui sebagai padanan kata di dalam kamus dwibahasa. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu sendiri selalu berkembang, dan kamus itu tidak mampu atau kurang bisa mengikuti perkembangan yang ada. Akibatnya seorang penerjemah mengambil pertimbangan sendiri untuk menggunakan kata-kata tersebut. Akan tetapi bagaimanapun juga kamus, sebagai tempat mencari padanan, diharapkan bisa mencatat semua perubahan-perubahan yang ada agar supaya kamus itu tetap bisa digunakan setiap saat sebagai alat acuan.

 6. Interjeksi dan ungkapan-ungkapan fatis.

Ungkapan-ungkapan fatis yang jumlahnya sekitar 180 di dalam bahasa Prancis tidak semuanya mendapatkan padanan di dalam bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk tertentu yang digolongkan sebagai onomatope masih bisa mendapatkan padanannya di dalam bahasa Indonesia, misalnya brrr ‘tanda kedinginan’ yang berpadanan sama dengan brrr , chut ‘perintah untuk diam/ tidak bersuara’ berpadanan dengan ssst, berpadanan dengan he ‘memanggil atau menarik perhatian seorang’, allô  yang berpadanan dengan hallo dan berfungsi untuk mempertahankan suatu percakapan melalui telepon, dan sebagainya. Sebagian besar bentuk-bentuk interjeksi dan ungkapan fatis ini tidak mendapatkan padanan yang memadai karena perilaku dan sifat hubungan antar individu masing-masing pengguna bahasa tidak sama.

 7. Penutup.

Dengan segala keterbatasannya, kamus harus tetap hadir di dalam semua kegiatan penerjemahan, baik penerjemahan lisan maupun tulis; baik di dalam fungsinya sebagai kamus aktif maupun pasif; dan dengan segala keterbatasannya pula seorang penulis kamus harus mampu mencatat semua kata-kata yang ada di dalam kehidupan berbahasa ini, baik kata-kata yang berkaitan dengan budaya maupun kata-kata baru yang bermunculan, dan menyajikan padanan-padanan tepat dan memadai yang dapat membantu para penerjemah di dalam kegiatan penerjemahannya.

 

 Daftar Pustaka

 AL-KASIMI, Ali M. 1983. Linguistics and Bilingual Dictionaries. Leiden: E.J. Brill.

CATFORD, J.C. 1967. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.

DYRBERG, G dan J. TOURNAY. 1990. “Définitions des équivalents de traduction de termes économiques et juridiques sur la base de textes parallèles”, di dalam Cahiers de lexicologie, no. 56-57, hal. 261-274.

MOUNIN, Georges. 1960. Les problèmes théoriques de la traduction. Paris: Gallimard.

NEWMARK, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Prenttice Hall International (UK) Ltd.

SVENSÉN, Bo. 1993. Practical Lexicography, Principles and Methodes of Dictionary-Making. Oxford: Oxford University Press.

WOJOWASITO, Tito. 2001. L’équivalence dans le dictionnaire bilingue français-indonésien. Tesis DEA, Université de la Sorbonne Nouvelle-Paris III.

ZGUSTA, Ladislav. 1971. “Manual of Lexicography”, Janua Linguarum, Serie major 39, Prague, Akademia, Publishing House of the Czechoslovak Academy of Sciences, Paris: The Hague.

 


CURRICULUM  VITAE

Nama : Tito W. WOJOWASITO

Tanggal dan tempat lahir : 3 Januari  1947 di  Surakarta (Jawa Tengah)

Status keluarga : Kawin (2 anak)

Pekerjaan : Dosen tetap FIB-Universitas Indonesia

Alamat : Rumah:

Jl . Lembah Aren 2/12; Kav. DKI Pondok Kelapa

JAKARTA 13450.

Tlp: (62-21) 864.55.28

Universitas tempat bekerja:

Program Studi Prancis,

FIB Universitas Indonesia, DEPOK 16424.

Tlp: (62-21) 786.82.85

PENDIDIKAN DAN PENGALAMAN KERJA

  1. 1979 : Sarjana Sastra (S1) Universitas Indonesia.
  2. 2001 : DEA (S2) Université de la Sorbonne Nouvelle – Paris III.
  3. 1999-2001 : Dosen tamu di Faculté des Lettres, Langues, Arts et Sciences Humaines, Université de la Rochelle.

 PUBLIKASI

  • Tatabahasa Dasar Bahasa Prancis Kontemporer. Terjemahan. Jakarta 1989.
  • Kamus Populer Inggeris-Indonesia. (co-author). 1983.
  • Kamus Populer Indonesia-Inggeris. (co-author). 1983.
  • Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia Indonesia-Inggeris. (co-author). 1983.
  • Kamus Umum Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia Inggris. 1983.
  • Kamus Perdagangan Dwibahasa Prancis-Indonesia. 1996.
  • Kamus Prancis-Indonesia Pariwisata. 2002.

Dalam persiapan:

  • Kamus Indonesia-Prancis Pariwisata.
  • Kamus Umum Prancis-Indonesia.
  • Kamus Indonesia-Prancis.

 

 


[1] Kamus yang dimaksud di dalam tulisan ini selanjutnya adalah kamus dwibahasa, terutama kamus Prancis-Indonesia.

[2] Terjemahan atau kegiatan penerjemahan berbeda dengan padanan: padanan adalah kata atau ungkapan bahasa sasaran yang diterjemahkan dari bahasa sumber. Padanan bukan merupakan suatu proses, tetapi merupakan suatu hasil dari suatu proses penerjemahan. Hasil ini muncul dalam bahasa sasaran (Tito Wojowasito, 2001: 11). Terjemahan atau proses penerjemahan adalah proses substitusi teks dari suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain (J.C. Catford, 1965: 1, Peter Newmark, 1988: 48).

[3] Harus dibedakan antara kamus dengan ensiklopedia.

[4] Terdapat dua jenis padanan di dalam kamus dwibahasa: padanan terjemahan atau padanan dan padanan penjelasan atau deskriptif (Ladislav Zgusta, 1971: 319; Ali M. Al-Kasimi, 1983: 60)

[5] Harus dibedakan antara kamus untuk penggunaan aktif, artinya kamus yang digunakan untuk memproduksi kata atau kalimat, dan kamus pasif, yang bertujuan hanya untuk memahami suatu teks (lihat Hans-Peter Kroman, 1990: 17-26).

[6] Winarsih Arifin dan Farida Soemargono, Kamus Perancis-Indonesia, 1991: 91.

[7] Ibid. hal. 132.

[8] Padanan tepat (…) dari dua bahasa yang berbeda tidak mungkin dilakukan (Georges Mounin, 1960:78).

[9] Padanan nol sering kita dapatkan pada kata-kata yang terikat erat dengan budaya, kehidupan sehari-hari, lembaga-lembaga pemerintahan, dsb (Peter Newmark, 1988: 121; Svensen Bo, 1993: 140).

[10] Dalam hal padanan nol, beberapa strategi yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan kata-kata pinjaman, penerjemahan harafiah, adaptasi, terjemahan yang diusulkan oleh penyusun kamus dan penjelasan  (c.f. Gunhild Dyrberg dan Joan Tournay, 1991: 270).

Translation as A Means to Transfer Information, Knowledge, and Culture

$
0
0

By:
Dedy Setiawan

Conventionally, there are two different types of translation methods, namely, word for word and free translation. With the existence of translation software available in the market, this traditional approach to translation may have to be changed.

             In fact, for the sake of literary art, translation is more than just trying to make a text of a foreign language understood. It should be able to show how the beauty of the language in the text is transferred. If possible, the individual style of writer  (idiosyncrasy) is also sensed through the translated text. For general purposes, translation often fails to include the cultural aspect of the text.

             This paper will discuss different types of translation methods and how translation can possibly include the luxurious components that come along with the text.

Kata kunci: word for word translation, free translation, subject mastery, knowledge, culture, translation program software, target language, original language

Pendahuluan

Ada dua jenis penerjemahan yang telah kita kenal, yaitu ‘word for word translation’ dan ‘free translation’. Word for word translation menyangkut juga cara penerjemahan dari phrase ke phrase. Sementara dari clause ke clause, sulit untuk dikategorikan sebagai word for word translation, karena pada kenyataanya clause dari bahasa asli (original language) bisa berubah menjadi terjemahan kalimat dalam bahasa yang dituju (target language). Hal ini dilakukan semata-mata untuk lebih memudahkan pembaca teks terjemahan mengerti apa yang dibacanya.

Kedua perbedaan itu lebih ditajamkan lagi dengan merujuk pada apa yang dipaparkan oleh Riazi (2003) yang membagi cara penerjemahan kedalam tiga pendekatan, yaitu:

  • translation at the level of word (word for word translation)
  • translation at the level of sentence, and
  • conceptual translation

Dalam conceptual translation, yang mirip atau mungkin sama dengan free translation yang kita kenal sebelumnya, Riazi mengungkapkan kegunaanya dalam hal menerjemahkan suatu idiom atau proverb yang memang tidak ada padanannya dalam target language, seperti contoh proverb berikut ini: A stitch in time saves nine; Count one’s chicken before they are hatched; dan Keep your fingers crossed while I take the test. Beberapa contoh proverb dari Bahasa Indonesia yang tidak ada padanannya dalam Bahasa Inggris: Tong kosong nyaring bunyinya; Ada gula ada semut; dan Seperti pinang dibelah dua.

Dalam hal pendekatan lainnya (word for word translation dan translation at the level of sentence), penerjemahan bisa mungkin dilakukan dengan computer dengan bantuan software terjemahan yang diikuti dengan berbagai macam upaya sehingga apa yang diterjemahkan oleh computer tersebut bisa dimengerti. Namun, sejauh manakah computer dapat membantu kita dalam menerjemahkan?

Sekilas Tentang Hasil Kerja Software Terjemahan (Transtools)

Ada beberapa software yang dapat digunakan untuk menerjemahkan, diantaranya Star Project Management Sotware,  LogoMedia, iFingerTransRef, dan lain sebagainya. Lebih jauh lagi mengenai software diatas dan sejenisnya bisa dilihat pada: http://www.accurapid.com/

‘Transtools’ merupakan salah satu software yang mungkin paling canggih, mutakhir dan paling banyak digunakan dalam upaya menerjemahkan dokumen dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris dan sebaliknya. Berikut ini adalah contoh hasil terjemahan dengan menggunakan software transtool tersebut:

Hasil terjemahan 1[3]

Hasil Terjemahan Komputer dari B. Inggris ke B. Indonesia

Apa yang sesungguhnya adalah Mutu Sistem?

Suatu sistem mutu secara formal diuraikan [ketika;seperti] ‘ struktur organisasi, tanggung-jawab, prosedur, sumber daya dan proses untuk menerapkan manajemen mutu’. yang dikatakan Di (dalam) suatu jalan/cara lebih sederhana, suatu sistem mutu berhubungan dengan jalan/cara [adalah] suatu perusahaan bepergian berlari/menjalankan bisnis nya untuk mencapai gol nya ( [yang] secara efektif atau cara lainnya!). mutu Sistem akan pada umumnya didokumentasikan dan adalah sering didasarkan di sekitar suatu manual mutu yang menggambarkan dan berwujud sistem.

Banyak pabrikasi dan perusahaan [jasa;layanan] mempunyai sistem mutu mereka menjamin melawan terhadap suatu mengenali standard manajemen mutu, [yang] biasanya salah satu [dari] internasional [itu] ISO 9000 standard. Standard seperti (itu)  merebahkan diri unsur-unsur yang baik praktek bisnis [yang] umum [bahwa/yang] perusahaan harus menerapkan dan mengikuti dalam rangka memperoleh sertifikasi.

Hasil terjemahan 2[4]

Hasil Terjemahan Komputer dari B. Indonesia ke B. Inggris

Food and irrigate to represent the matter we which must pay attention to first of all to so that we can stay alive. we live [in] industrial era where food and irrigate in big supply in tidiness fulfilling health conditions. food and beverage the Tidiness now we can get the goodness in the form of food ready for eaten [by] and also easy food to be prepared / presented.

Amount [of] food and beverage which must be brought of course have to be adapted for [by] amount of estimate time we to require, inclusive of its transportation;journey, in [doing/conducting] the encampment. Its principle, of course, don’t less, but also don’t be abundant. If less, we will be given on to [by] problem of health and our body requirement; and if abundant, we will get the problem with its transportation. We better just getting just food and beverage  [by] needed it; don’t berfikir to bring the food or beverage which we think much of. At the (time) of camping, square meal have to be seen from facet nutrisi and its amount, non likely. Basically in place encampment, any food presented will be felt eaten delicious

Barangkali sulit bagi kita atau perlu waktu yang cukup banyak dan perlu berulang kali membaca agar kita benar-benar mengerti hasil terjemahan diatas. Bukan mustahil, kita harus bolak-balik kembali ke teks aslinya agar supaya kita benar-benar mengetahui apa yang dimaksud dari isi teks aslinya itu.

Ada beberapa kemungkinan yang membuat kita sulit memahami hasil terjemahan diatas. Pertama adalah struktur kalimat hasil terjemahan itu yang memang tidak standar; kedua bidang bahasan yang ilmiah (scientific); tingkat kesukaran bahasa asli yang digunakannya cukup tinggi (kompleks); dan banyaknya phrasa-phrasa dan compound words yang tidak lazim digunakan dalam bahasa sehari-hari.

Pada tingkat bahasa yang lebih rendah (dengan kalimat sederhana dan topik bahasan yang umum), hasil kerja transtool ini lebih baik. Berikut ini contohnya:

 Hasil terjemahan 3[5]

Hasil Terjemahan Komputer dari B. Indonesia ke B. Inggris.

  1. My name [is] Alida
  2. This [is] green book
  3. That desk [is] domed
  4. My computer [do] not have merk
  5. When I go to Jakarta
  6. Whether/What naughty you
  7. I [do] not go because rain
  8. If he/she come I will come also
  9. Hopefully rain [do] not tomorrow.
  10. At the discretion of padamu: will or [do] not

Meskipun hasil terjemahan komputer di atas bisa dimengerti, banyak diantaranya kata-kata dan struktur kalimat yang tidak standar; sehingga cukup banyak yang harus dilakukan supaya hasil terjemahan itu bisa lebih mudah dapat dimengerti dan enak dibaca.

Pada halaman berikut adalah hasil terjemahan yang menggunakan kalimat yang sedikit lebih kompleks dengan subjek materi yang agak umum. Bisa kita lihat disini banyak kata-kata dan struktur kalimat yang tidak lazim digunkan; namun secara umum apa yang dipesankan dalam terjemahan itu bisa ditangkap, apalagi kita mengetahui konteksnya.

Hasil terjemahan 4[6]

Hasil Terjemahan Komputer dari Bahasa Inggris ke B. Indonesia

Yth. Tuan:

Kita disenangkan untuk dibiarkan kamu mengetahui bahwa abstrak mu diterima untuk;menjadi diperkenalkan dalam  konggres mendatang  pada [atas] terjemahan September berikutnya 2003.

Catatan/kertas Yang penuh diharapkan untuk menjangkau [kita/kami] oleh Agustus 15, 2003.

Kita juga bermaksud mengetahui apa [yang]  multimedia bantuan  [yang] kamu akan memerlukan untuk presentasi ( Operator kaset, VCD/VHS, PAL/NTSC).

Kita  sedang menantikan akan jawaban mu.

Salam,

A D

Secreatriate Organisir

 

Memang, banyak yang perlu dilakukan agar hasil kerja transtool ini lebih berguna dan lebih bisa dipahami lagi. Diantaranya adalah:

  • Perlu dilakukan penerjemahan phrasa-phrasa dan compound words serta idiomatic expressions lainnya.
  • Perlu dicarikan/dibuat daftar padanan proverb dari kedua bahasa.
  • Perlu adanya pilihan ujaran-ujaran terjemahan untuk kata-kata yang memiliki lebih dari satu arti, seperti halnya kata-kata round, chair, can, time, dsb.
  • Perlu diantisipasi struktur kalimat yang tidak ada padanannya di antara kedua bahasa, seperti halnya subjunctive, conditional, dan lain sebagainya.

Ini adalah pekerjaan yang sangat besar dan berkesinambungan, karena jumlah compund words, dan idiomatic expressions yang hampir tak terbatas, dan terus bertambah sesuai dengan sifat bahasa itu sendiri yang dinamis dan senantiasa mengikuti jaman. Begitu juga dengan kata-kata yang memiliki dua atau lebih makna.

Meskipun banyak yang harus dilakukan agar hasil kerja software ini bisa lebih berguna dalam menerjemahkan dokumen asing, sedikitnya hasil kerja software ini bisa menggambarkan sedikit apa yang diungkapkan dalam bahasa aslinya itu pada para pembaca yang buta atau sedikit mengerti Bahasa Asli dari teks tersebut. Pertannyaan berikutnya adalah: apakah computer suatu saat dapat mengambil alih pekerjaan translator?

Keterampilan dan Pengetahuan Yang harus Dimiliki Oleh Penerjemah

Semua orang pasti berpendapat bahwa untuk menjadi translator yang handal diperlukan tidak hanya penguasan dua bahasa, yaitu bahasa asli dan bahasa target, tapi juga pengetahuan yang melatarbelakangi teks yang diterjemahkan.

Jauh sebelumnya di Negeri China pada tahun 1894, seorang theorist penerjemah M Jianzhong menyebut tiga persyaratan utama untuk menjadi penerjemah yang baik (Diambil dari Zhoung, W., 2003).

(1) A translator should have a good mastery of the two languages. He is required to know the differences and similarities between the two languages.
(2) A translator should have a full understanding of the meaning, style and spirit of the source text and transfer them exactly into the target language.
(3) There should be no discrepancy between the source text and the target text. The target text is required to be identical with the source text.

Penguasaan bahasa yang dimaksud diatas mencakup diantaranya berbagai macam aspek seperti halnya tata bahasa, gaya bahasa, kosa kata, dan perbedaan di antara kedua bahasa tersebut. Sedangkan pengetahuan yang melatarbelakangi teks mencakup, diantaranya, adalah subject mastery, budaya, dan lain sebagainya.

Karamanian (2001) menyatakan bahwa ‘Translation, involving the transposition of thoughts expressed in one language by one social group into the appropriate expression of another group, entails a process of cultural de-coding, re-coding and en-coding.’ Dari pernyataan ini kita mengetahui bahwa peran budaya dalam penerjemahan sangatlah penting.

Penguasaan subject dari teks yang diterjemahkan sudah merupakan hal yang tak bisa dibantah lagi. Dalam beberapa hal, penguasaan subjek mejadi prioritas utama ‘Subject specialization is the first’, demikian penuturan seorang ahli penerjemah Chris Durban pada suatu seminar mengenai penerjemahan di internet (Round Table, 2003). Disitu juga terungkap pentingnya program postgraduate degree (S2) dalam bidang penerjemahan, dimana bachelor (undergraduate) degree (S1) dari candidate master tersebut adalah bidang penerjemahan yang akan digarapnya di kemudian hari.

Latar belakang teks tidak hanya meliputi budaya dan penguasaan subjek apabila teks yang akan diterjemahkan mencakup kaidah-kaidah keindahan seperti halnya literary text. Seorang pemerjemah juga harus memiliki pengetahuan dan sense of esthetics untuk supaya hasil penerjemahannya memiliki cita rasa, bahkan kalau perlu menggambarkan gaya bahasa dari penulis aslinya.

Gagasan bahwa computer dapat menggantikan tugas seorang translator ibarat wacana robot dalam film atau novel science fiction. Dalam beberapa hal memang bisa disamakan antara robot dengan computer. Teks yang diterjemahkan adalah input yang dimasukan kedalam computer sebagai robot; dan hasil terjemahan adalah output yang dikeluarkan dari robot penerjemah tersebut.

Untuk lebih merasakan bagaimana penerjemahan yang dilakukan oleh komputer terhadap satu hasil karya seni sastra, bisa dilihat pada hasil terjemahan berikut:

Hasil terjemahan 5[7]

HUESCA Hati [menyangkut] dunia yang tanpa [hati/jantung],

 Yth. [hati/jantung], pemikiran kamu

 Menjadi sakit pada sisi ku

 Bayang-Bayang yang dingin/kaku pandangan ku.

 

 Angin naik pada malam hari,

 Ingatkan musim gugur itu adalah dekat.

 Aku adalah ketakutan untuk hilang[kan kamu,

 Aku adalah takut akan ketakutan ku.

 

 Pada [atas] mil terakhir ke Huesca,

 Pagar terakhir untuk kebanggaan [kita/kami],

 Pikir dengan ramah, menyayangi, yang aku

 Rasakan kamu pada sisi ku.

 

 Dan jika nasib malang perlu meletakkan kekuatan ku

 Ke dalam kuburan yang [dangkal/picik].

 Semua yang baik [yang] kamu dapat;

 Jangan melupakan cinta ku.

 

Meskipun terasa nilai dan gambaran puisinya dalam hasil terjemahan di atas, tapi kita merasakan kekakuan dan kegersangan dari nilai seni yang diciptakannya. Bandingkan dengan terjemahan yang dibuat oleh seorang penyair Chairil Anwar yang memang telah diakui kepiawiannya.

 

 

HUESCA

Jiwa di dunia yang hilang jiwa

Jiwa sayang, kenangan padamu

Adalah derita di sisiku

 

Angin bangkit ketika senja,

Ngingatkan musim gugur akan tiba.

Aku cemas bisa kehilangan kau,

Aku cemas akan kecemasanku.

 

Di batu penghabisan ke Huesca,

Pagar penghabisan dari kebanggaan kita,

Kenanglah, sayang, dengan mesra

Kau Kubayangkan di sisiku ada.

 

Dan jika untung malang menghamparkan

Aku dalam kuburan dangkal.

Ingatlah sebisamu segala yang baik

Dan cintaku yang kekal.

(Diambil dari Jassin (1978)

Disini kita bisa merasakan keindahan dan kekuatan pilihan kata yang dibuat oleh penyair penerjemah, sehingga kesan puisi terjemahan diatas hilang, dan seolah puisi itu benar-benar asli ciptaan pengarang (penyair) yang menerjemahkannya. Memang, kelebihan seorang penyair dalam memilih kata adalah salah satu wujud yang menentukan nilairasa yang datang dari dayabunyi (Jassin, 1983). Nilairasa dan dayabunyi ini tidak dapat dimiliki oleh computer.

Lebih jauh lagi, apabila kita melihat pekerjaan translator sebagai ‘service job’ dimana seorang translator akan berusaha untuk memberikan pelayanan terbaiknya, pekerjaan translator akan lebih dari sekedar penerjemahan (translation), tapi penulisan kembali (re-writing) dalam bahasa lain (target language). Ini mungkin bisa terjadi, khususnya apabila bahasa asli merupakan bahasa yang dianggap ‘poor’, seperti disinyalir oleh seorang ahli translator Chris Durban (Roundtable, 2002).

Gagasan bahwa translation merupakan a form of rewriting juga dikemukakan oleh Aksoy (2001) yang menyitir pendapat Lefevere yang melihat translation as an act carried out under the influence of particular categories and norms constituent to systems in a society.

Untuk itulah writing skill merupakan isu yang mengemuka, disamping subject matter knowledge, dalam suatu diskusi panel mengenai translation di suatu seminar (lihat website Roundtable, 2002) sebagai suatu keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang translator.

Mengingat semua prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah, bisa ditarik kesimpulan bahwa sampai saat ini wacana bahwa computer dapat mengambil alih pekerjaan translator hanyalah mimpi belaka. Kalaupun sampai disempurnakan, apa yang bisa dilakukan oleh computer dalam menerjemahkan suatu teks paling bisa mencapai 50%, selebihnya adalah tugas seorang professional translator untuk membuat hasil terjemahan tersebut lebih berbobot dengan mengikutsertakan budaya, penguasaan subjek, nilai estetika dan segala latar belakang yang berhubungan dengan teks yang diterjemahkan.

Disamping itu, language ambiguity yang terdiri dari lexical ambiguity (ambiguity pada level kata dan phrase) dan structural ambiguity (ambiguity pada level kalimat), kerap ada dan sudah menjadi ‘fakta’ dalam penggunaan bahasa (Quiroga-Clare, 2002). Apakah computer bisa mengatasi kedua macam ambiguity itu?

Kecuali apabila kita mengakui ‘variasi bahasa komputer’ (sehingga nantinya ada varietas bahasa (language variety) komputer Indonesia, Inggris, Jerman, dsb), yang notabene akan merupakan bahasa asing tersendiri bagi sementara orang, mimpi itu mungkin bisa jadi kenyataan.

Aspek Budaya Pada Penerjemahan Dokumen Umum

Yang dimaksud dengan dokumen umum pada makalah ini adalah dokumen yang banyak digunakan masyarakat untuk kepentingan umum, seperti halnya ijazah (STTB), Akte Kelahiran, Surat Nikah, dan lain sebagainya.

Kalau kita lihat pada apa yang telah banyak dilakukan dalam penerjemahan dokumen umum seperti di atas, aspek budayanya kerap diabaikan. Padahal, budaya dapat menggambarkan keadaaan dan sifat (karakter) suatu bangsa. Berikut ini adalah contoh hasil terjemahan yang banyak dilakukan:
Hasil terjemahan 6

Certificate of Marriage
 

This is to certify that:

Mr. ……………………..…………

and

Ms. ……………………………….

Got married on ………………………. at …………………..

 

 Marriage councilor

(……………………)

Cara penerjemahan diatas tidaklah salah, namun tidak mengambarkan aspek budaya dari teks yang diterjemahkan. Kalau kita lihat naskah aslinya (ada di Appendiks), banyak hal yang membuat pembaca teks terjemahan (yang mungkin tidak tahu) tercengang melihat berbagai macam data aspek budaya dimasukan dalam document akta (sertifikat) nikah tersebut, seperti halnya data diri pengantin pria dan wanita, data wali nikah, bentuk maskawin, dan lain sebagainya.

Begitu halnya dengan penerjemahan dokumen yang serupa, seperti akta kelahiran, akta (sertifikat) tanah, dan dokumen resmi standar lainnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang kerap menggambarkan ciri khas budaya dan bangsa Indonesia.  Dalam hal ini, dokumen semacam ini sebaiknya diterjemahkan apa adanya. Kalaupun suatu saat Pemerintah (atau Biro Penerjemahan) hendak membuat suatu standar format penerjemahan resmi terhadap dokumen semacam ini, data-data yang menggambarkan budaya dan bangsa Indonesia jangan sampai dihilangkan.

Kesimpulan

Penerjemahan merupakan upaya untuk mentransfer informasi yang diungkapkan dengan satu bahasa ke bahasa lain. Tujuan utama dari penerjemahan dan atau interpretasi (penerjemahan lisan), sama halnya dengan tulisan atau ujaran apapun, adalah memberikan gambaran dan penjelasan dari teks asli. Tetapi, suatu teks atau dokumen yang diterjemahkan kerap membeberkan lebih dari sekedar informasi yang dibutuhkan oleh yang bersangkutan (peminat teks terjemahan).

Seorang peminat (pembaca) terjemahan dari karya sastra akan senantiasa mengharapkan keindahan karya asli dalam teks yang diterjemahkan tersebut. Bahkan, gaya bahasa dari penulis aslinya itu, yang juga merupakan satu keindahan tersendiri, diharapkan terasa dalam karya terjemahan.

Begitu juga halnya dengan dokumen atau teks lain yang diterjemahkan. Indonesia adalah negara yang cukup besar dan sebagian budaya Indonesia tergambarkan dalam dokumen atau surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh jawatan penyelenggara pemerintahan.

Seorang penerjemah tidak hanya harus memiliki penguasaan bahasa asli dan bahasa target, tapi harus memiliki pengetahuan latar belakang dari teks yang akan diterjemahkan. Latar belakang ini sangat dibutuhkan khususnya untuk penerjemahan yang sifatnya scientific dan teks sastra yang membutuhkan sense of esthetics tersendiri. Karena dalam beberapa kasus penerjemahan merupakan penulisan kembali (re-writing) suatu teks, penerjemah juga harus memiliki writing skill yang memadai.

Karena banyaknya pranyarat yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah professional, penerjemahan yang dilakukan oleh komputer sampai saat ini jauh dari sempurna, sehingga banyak yang harus dilakukan untuk membuat suatu teks yang diterjemahkan dapat dimengerti. Meskipun demikian, bagaimana pun sempurnanya, hasil kerja komputer dalam menerjemahkan  teks akan senantiasa membutuhkan kerja seorang human translator yang professional supaya hasil terjemahan lebih bisa diterima dan sesuai dengan kaidah bahasa yang digunakan di masyarakat.

 

References

 

  • Aksoy, B. (2001) Translation as Rewriting, http://accurapid.com/journal/17turkey.htm
  • Boatner, M, T. and J. E. Gates (1975) A Dictionary of American Idioms, New York: Baron’s Educational Series Inc.
  • Jassin, H, B. (1978) Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gunung Agung.
  • Jassin, H, B. (1983) Tifa Penyair dan Daerahnya, Jakarta: Gunung Agung.
  • Karamanian, A, P. (2001) Translation and Culture: http://accurapid.com/journal/19culture2.htm
  • Quiroga-Clare (2002) Language Ambiguity: A Curse and a Blessing, http://accurapid.com/journal/23ambiguity.htm
  • Riazi, A. (2003) The Invisible in Translation, http://accurapid.com/journal/24structure.htm
  • Roundtable (2002) Translation Training & The Real World, http://accurapid.com/journal/23roundtable.htm
  • Zhoung, W (2003) An Overview of Translation in China,  http://accurapid.com/journal/24china.htm

Appendiks

Teks Asli 1

 

What is a Quality System?

A quality system is formally described as ‘the organization structure, responsibilities, procedures, processes and resources for implementing the management of quality’. Said in a simpler way, a quality system concerns the way an enterprise goes about running its business to achieve its goals (effectively or otherwise!). The quality system would usually be documented and is often based around a quality manual that defines and embodies the system.

 

Many manufacturing and service enterprises have their quality systems certified against a recognised quality management standard, commonly one of the international ISO 9000 standards. Such standards lay down generic elements of good business practice that the enterprise must implement and follow in order to gain certification.

 

 

 

Teks Asli 2

 

Makanan dan air merupakan hal yang harus kita perhatikan pertama-tama untuk supaya kita bisa hidup terus. Beruntunglah kita hidup di jaman industri dimana makanan dan air banyak tersedia dalam kemasan yang memenuhi persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman kemasan tersebut sekarang bisa kita dapatkan baik dalam bentuk makanan yang sudah siap untuk dimakan maupun makanan yang mudah untuk disiapkan/disajikan.
 

Jumlah makanan dan minuman yang harus dibawa tentu saja harus disesuaikan dengan jumlah waktu perkiraan yang akan kita butuhkan, termasuk perjalanannya, dalam melakukan perkemahan tersebut. Prinsipnya, tentu saja, jangan sampai kurang, tapi juga jangan sampai berlebihan. Kalau kurang, kita akan dihadapkan pada masalah kesehatan dan kebutuhan tubuh kita; dan kalau berlebihan, kita akan mendapatkan masalah dengan pengangkutannya. Sebaiknya kita hanya membawa makanan dan minuman yang diperlukan saja; jangan berfikir untuk membawa makanan atau minuman yang kita senangi. Pada saat berkemah, makanan yang cukup harus dilihat dari segi nutrisi dan jumlahnya, bukan rasanya. Pada dasarnya di tempat perkemahan, makanan apapun yang disajikan akan terasa enak dimakan!

 

 

 


Teks Asli 3

 

1. Nama saya Alida

2. Ini buku hijau.

3. Meja itu bundar.

4. Komputer saya tidak bermerk.

5. Kapan saya pergi ke Jakarta?

6. Apakah kamu nakal?

7. Saya tidak pergi karena hujan.

8. Kalau dia datang saya akan datang juga.

9. Mudah-mudahan tidak hujan besok.

10. Terserah padamu: mau atau tidak.

 

Teks Asli 4

 

Dear Sir:

 

We are pleased to let you know that your abstract is accepted to be presented in the coming congress on translation next September 2003.

 

The full paper is expected to reach us by August 15, 2003.

 

We also would like to know what multimedia aids you will need for the presentation (Tape Player, VCD/VHS, PAL/NTSC).

 

We are looking forward to your reply.

 

 

Regards,

 

 

A D

Secreatriate Staff

 

(Diambil dari dokumen

Panitia Kongres Nasional Penerjemahan 2003)

 

 

 

 

Teks Asli 5

 

HUESCA

 

Heart of the heartless world,

Dear heart, the thought of you

Is the pain at my side

The shadow that chills my view.

 

The wind rises in the evening,

Reminds that autumn is near.

I am afraid to lose you,

I am afraid of my fear.

 

On the last mile to Huesca,

The last fence for our pride,

Think so kindly, dear, that I

Sense you at my side.

 

And if bad luck should lay my strength

Into the shallow grave.

Remember all the good you can;

Don’t forget my love.

 

(Diambil dari Jassin (1978)

 

 

 

 


[1] Disampaikan pada Kongres Nasional Penerjemahan di Universitas Sebelas Maret Tanggal 15-16 September 2003.

[2] Dosen Bahasa Inggris di Politeknik Negeri Bandung. E-mail address: dedysetiaone@yahoo.com

[3] Teks asli bisa dilihat pada Apendiks

[4] Teks asli bisa dilihat pada Apendiks

[5] Teks asli bisa dilihat pada Apendiks

[6] Teks asli bisa dilihat pada Apendiks

[7] Teks asli bisa dilihat pada Apendiks

Ideologi Dalam Penerjemahan

$
0
0

Oleh: Benny H. Hoed**

  1. 1.      Pendahuluan

Judul paparan saya ini memang provokatif: “Ideologi dalam Penerjemahan”. Namun, saya anggap penting untuk memberikan pandangan yang bersifat makro dalam membahas penerjemahan sebagai bagian dari kegiatan sosial budaya dan karya terjemahan sebagai bagian dari kebudayaan suatu masyarakat. Pembahasan saya difokuskan pada penerjemahan teks yang bermuatan budaya, termasuk karya sastra, berita surat kabar, film, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1] Oleh karena itu, saya ingin memperlihatkan bahwa dalam kegiatan penerjemahan penerjemah – secara sadar atau tidak – dibayangi oleh ideologi tertentu.

Ideologi adalah suatu prinsip yang dipercayai kebenarannya oleh sebuah komunitas dalam suatu masyarakat. Meminjam konsep Barthes (1957), kita dapat mengatakan bahwa ideologi adalah mitos yang sudah mantap dalam suatu komunitas. Mitos, menurut Barthes, adalah pemaknaan atas suatu gejala budaya yang sudah mantap. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang “benar-salah” dalam penerjemahan. Para peneliti dan praktisi penerjemahan sepakat bahwa secara umum penerjemahan adalah upaya untuk mengalihkan pesan yang terkandung dalam sebuah teks dalam suatu bahasa (disebut bahasa sumber) ke dalam teks dalam bahasa lain (disebut bahasa sasaran). Jadi, penerjemahan yang “benar” adalah yang berhasil mengalihkan pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber ke dalam teks terjemahan. Namun, apa yang dimaksud dengan “berhasil”? Ditinjau dari segi siapa? Pembaca? Pembaca yang mana? Di sini kita punya masalah sehingga pertanyaan berikut masih perlu dicari jawabannya.

Apakah yang dimaksud dengan terjemahan yang “benar”? Apa makna “benar” itu bila kita berbicara tentang terjemahan? Dari contoh-contoh yang akan saya berikan nanti, ternyata makna “benar-salah” sifatnya serba relatif. Jadi, pada dasarnya pemaknaan tentang “benar-salah” dalam penerjemahan berkaitan dengan faktor-faktor di luar penerjemahan itu sendiri. Keberhasilan mengalihkan pesan, dengan demikian, menjadi relatif pula.

Apakah faktor-faktor yang akan menentukan “benar-salah”-nya suatu terjemahan? Dari literatur tentang penerjemahan yang dapat kita baca sejauh ini, “benar-salah” ditentukan oleh faktor “untuk siapa” dan “untuk tujuannya” suatu terjemahan dilakukan.

Dalam kepustakaan klasik seperti karya Nida dan Taber (1969), kita dapat membaca konsep “benar-salah” ditentukan oleh “siapa calon pembacanya”. Dalam kepustakaan yang lebih baru, seperti, karya Hatim dan Mason (1997), kita menemukan konsep “audience design” sebagai salah satu prosedur untuk memulai suatu proses penerjemahan. “Audience design” adalah suatu tindakan memperkirakan siapa calon pembaca terjemahan kita. Berbeda calon sidang pembaca kita, berbeda pula cara kita menerjemahkan. Bahkan, bila kita membaca Newmark (1988), akan kita lihat bahwa ia mengemukakan delapan “metode” penerjemahan yang didasari oleh “tujuan” di samping “untuk siapa” penerjemahan dilakukan. Empat dari kedelapan metode itu berorientasi pada bahasa sumber dan empat lainnya berorientasi pada bahasa sasaran. Newmark menggambarkan kedelapan metode penerjemahan itu dalam suatu diagram yang disebutnya V-diagram. Seringkali kita mengira bahwa hanya ada satu jenis terjemahan. Namun, kalau kita tinjau lebih jauh, sebenarnya kita dapat membedakan delapan jenis terjemahan atau metode penerjemahan. Jenis-kenis atau metode penerjemahan adalah sebagai berikut (1) penerjemahan kata demi kata, (2) penerjemahan harfiah, (3) terjemahan setia, (4) terjemahan semantis, (5) saduran [adaptasi], (6) terjemahan bebas, (7) penerjemahan idiomatis, dan (8) penerjemahan komunikatif. Pembedaan metode penerjemahan dan jenis-jenis terjemahan ini berguna bagi kita yang terlibat dalam pekerjaan “pengalihbahasaan”. Dari kedelapan jenis ini, hanya (4), (7), dan (8) yang biasa kita sebut terjemahan.[2] Yang lainnya seringkali tidak dianggap terjemahan (cf. Newmark 1988: 45-47).

 

SL emphasis                                                                                      TL emphasis

Word-for-word translation   (1)                                              (5)    Adaptation

Literal translation (2)                                                       (6)  Free translation

Faithful translation  (3)                                             (7)  Idiomatic translation

Semantic translation (4)                              (8) Communicative translation

Gambar 1: Diagram –V

Keterangan: SL = source language (bahasa sumber); TL = target language (bahasa sasaran).

Sumber: Newmark 1988: 45

 

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pemilihan salah satu dari kedelapan metode itu didasari oleh “tujuan” penerjemahan di samping oleh “untuk siapa” penerjemahan itu dilakukan.[3]            Apa yang menarik dalam uraian di atas adalah bahwa ternyata penerjemahan dapat dilakukan dengan berorientasi pada bahasa sumber atau bahasa sasaran. Namun, apa yang diuraikan di atas masih bersifat mikro. Artinya, masih tentang metode atau cara penerjemahan yang dipilih.

 

  1. 2.      Dua Kutub Ideologi

 

Venuti (1995) dalam bukunya berbicara tentang hal yang bersifat lebih makro. Ia berbicara mengenai kecenderungan yang dominan dalam suatu masyarakat dalam hal menilai “benar” atau “salah”-nya suatu terjemahan. Karena kecenderungan itu dominan, yakni menguasai sebagian besar warga masyarakat, dapatlah kita sebut sebagai “ideologi”. Pengertian “ideologi” ini baik menurut pengertian umum (hal yang dipercayai kebenarannya oleh sekelompok masyarakat) maupun menurut konsep Barthes (1964) (mitos yang sudah menjadi mantap dalam masyarakat yang bersangkutan).

Ideologi bahwa penerjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” untuk masyarakat pembaca adalah yang memenuhi persyaratan tertentu. Dalam kaitan ini, Venuti (1995) mengamati adanya dua ideologi yang mengarah ke dua kutub yang berlawanan.

Yang pertama berorientasi pada bahasa sasaran, yakni bahwa terjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat bahasa sasaran. Intinya, suatu terjemahan harus tidak dirasakan seperti terjemahan dan sejauh mungkin harus menjadi bagian dari tradisi tulisan dalam bahasa sasaran. Oleh karena itu, bila kita kaitkan dengan Diagram-V dari Newmark (lihat Gambar 1), metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada bahasa sasaran; dimulai dari adaptasi (yang paling jauh dari bahasa sumber), kemudian makin mendekati bahasa sumber dengan penerjemahan bebas, penerjemahan idiomatik, dan yang paling jauh dari bahasa sasaran adalah penerjemahan komunikatif.

Kecenderungan seperti ini sudah dikemukakan oleh para pakar teori penerjemahan. Nida dan Taber (1974) secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan dalam bahasa pembacanya. Dalam kaitan ini, kedua pakar itu dipandang sebagai pendukung penerjemahan yang berorientasi pada kebudayaan bahasa sasaran. Menurut penilaian Venuti (1995: 21) Nida dan Taber menganut “ideologi” yang disebutnya “transparansi” dan “domestication”. Jadi, yang dimaksud dengan memenuhi keinginan pembaca adalah keinginan untuk membaca suatu terjemahan tanpa terasa bahwa yang dibaca itu sebenarnya terjemahan. Dalam tradisi Anglo-Amerika, ideologi semacam itu sangat dominan (ibid.: 21). Ada tiga istilah kunci yang dikemukakan oleh para penganut ideologi ini, yaitu “fluency” (kelancaran), “transparency” (transparansi), dan “domestication” (domestikasi). Intinya adalah terjemahan harus tidak terasa sebagai terjemahan dan enak (baca: lancar) dibaca sesuai dengan tuntutan tradisi tulisan dalam bahasa Inggris di Amerika.. Menurut Venuti (ibid. 17) apa yang dimaksud dengan transparansi adalah “rewriting them[4] in the transparent discourse that prevails in English and that selects precisely those foreign texts amenable to fluent translation”.

 Menurut Venuti “ideologi” tansparansi ini bukan sekadar masalah selera masyarakat atau pandangan tentang pemahaman Kitab Injil [seperti dalam hal Nida dan Taber (1974)], tetapi juga terkait dengan soal ekonomi yang didukung oleh politik pembentukan selera. Transparansi membuat sebagian besar karya dalam bahasa non-Inggris diterjemahkan menjadi bagian dari kebudayaan Anglo-Amerika. Dengan politik transparansi  [melalui kekuasaan para penerbit besar] karya-karya asing itu terdomestikasi dan terasimilasi sehingga nilai-nilai kultural yang tersimpan dalam karya bahasa sumber menjadi “pudar”. Ini merupakan upaya asimilasi kebudayaan luar yang masuk melalui terjemahan “agar tidak menyaingi karya-karya asli” dalam bahasa Inggris yang sangat laku di pasar internasional dan dalam negeri. Politik (baca: ideologi) semacam ini oleh Venuti digambarkan sebagai “imperialistic abroad and xenophobic at home”.

Analisis makro seperti ini sangat menarik karena ini mengubah citra kita tentang negara seperti Amerika Serikat. Kita memperoleh citra dari negara seperti Amerika Serikat – dan juga negara seperti Inggris, Australia, dan negara-negara Barat yang lain – bahwa globalisasi tidak dapat dihindari dan kita semua akan menjadi suatu masyarakat dunia dengan kebudayaan dunia. Ternyata – jika kita bicara khusus mengenai Amerika Serikat, seperti dikemukakan oleh Venuti – ideologi globalisasi tidak berlaku di negeri itu, paling tidak dalam hal politik [ekonomi] penerjemahan dan penerbitannya. Menurut data yang dikutip Venuti pada tahun 1990 saja telah mengekspor sebanyak hampir satu setengah juta buku ke berbagai negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Eropa, dan Afrika. Buku-buku itu mencakupi berbagai bidang ilmu pengetahuan, kamus, agama, sastra dan buku anak. Kita dapat membayangkan bahwa impor buku ke Amerika Serikat jauh lebih rendah daripada ekspornya. Situasi surplus seperti ini tentunya ingin dipertahankan oleh para penerbit Amerika. Politik ekonomi perbukuan ternyata berkaitan dengan pembentukan ideologi penerjemahan transparansi dan domestikasi di Amerika Serikat.

Yang menarik adalah keadaannya di negara-negara “sasaran” ekspor buka berbahasa Inggris, khususnya dari Amerika Serikat. Sebagian  besar buku impor yang dijual di pasar Indonesia adalah dalam bahasa Inggris. Yang terbanyak datang dari penerbit Amerika, meskipun kita juga menemukan buku-buku yang diimpor dari Inggris atau negara berbahasa Inggris lainnya, seperti Australia, Selandia Baru, Singapura, Hong Kong, dan India. Kita masih bisa memperdebatkan analisis Venuti tentang ideologi penerjemahan di Amerika Serikat. Namun, bauklah kita tinggalkan analisis Venuti untuk mengamati keadaan di negeri kita sendiri.

Dewasa ini di Indonesia makin banyak buku asing, terutama sekali yang berbahasa Inggris, dan berasal dari penerbit Amerika. Di samping itu, saya juga mulai melihat bertambahnya terjemahan dari bahasa Arab. Ideologi apa yang dianut oleh para penerbit kita? Apakah juga transparasi dan domestikasi? Ini akan kita bicarakan kemudian. Akan tetapi, marilah kita lihat dulu ideologi lainnya yang diamati oleh Venuti dan dikemukakan dalam bukunya (ibid.)

Ideologi yang lainnya adalah yang berorientasi pada bahasa sumber, yakni bahwa penerjemahan yang “benar”, “berterima”, dan “baik” adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran kebudayaan bahasa sumber. Penerjemahan yang didasari oleh ideologi seperti ini dikenal dengan nama “transferensi”[5] dan  “decenterring”, sedangkan ideologinya oleh Venuti disebut “foreignization”. Ideologi “foreignizing” oleh Venuti (1995: 20) digambarkan sebagai “an ethnodeviant pressure on those values to register the linguistic and cultural difference of the foreign text, sending reader abroad”. Ini berarti, jika kita kaitkan dengan jenis terjemahan menurut Diagram-V Newmark, metode yang digunakan adalah cenderung jenis penerjemahan setia (faithful translation) dan penerjemahan semantik (semantic translation) (lihat Gambar 1). Dari diagram pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kedua jenis terjemahan itu berorientasi pada bahasa sumber.

Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) di Jakarta tiga bulan yang lalu saya menyaksikan kedua ideologi di atas “berdialog”.

Salah satu pembicara – bekerja sebagai penerjemah dan editor pada sebuah penerbit besar di Indonesia – berpendapat bahwa dalam penerjemahan dari bahasa Inggris kita harus tetap mempertahankan  sapaan seperti Mr., Mrs., atau Miss agar pembaca masih tetap merasakan kebudayaan bahasa sumber dalam terjemahan. Tidak hanya itu, sapaan Uncle dan Auntie pun tidak diterjemahkan dengan paman dan bibi. Suasana dan kebudayaan bahasa sumber diusahakan untuk hadir maksimal, meskipun teks Inggris telah berubah menjadi teks Indonesia. Tujuannya adalah agar masyarakat pembaca diperkaya pengetahuannya dengan membaca sesuatu yang asing. Pendek kata, ini adalah perwujudan ideologi “foreignization” dengan cara transferensi: menerjemahkan dengan menghadirkan nilai-nilai bahasa sumber.

Menarik sekali bahwa pendapat itu ditentang oleh panelis yang lain [yang kebetulan tidak mewakili penerbit, tetapi sebuah asosiasi yang justru berusaha memperkenalkan salah satu aspek kebudayaan Indonesia kepada dunia luar. Ia justru berpendapat bahwa penerjemahan yang “benar” adalah yang tidak menghadirkan sesuatu yang asing. Jadi Mr., Mrs., dan Miss harus diterjemahkan dengan Bapak, Ibu, dan Nona, sedangkan  Uncle dan Auntie menjadi Paman dan Bibi. Terjemahan karya sastra atau cerita anak harus dapat dirasakan sebagai suatu karya asli atau cerita anak yang asli agar dapat dinikmati sebagai bagian dari kebudayaan kita dan bukan sebagai “benda asing”. Di sini kita melihat ideologi yang, tidak hanya berbeda, tetapi bertentangan dengan ideologi “foreignization”. Ini adalah suatu pandangan yang mempercayai bahwa suatu karya terjemahan haruslah “transparan” dan “lancar keterbacaannya” sehingga “berterima” di kalangan pembaca bahasa sasaran.

Pertanyaannya sekarang: siapa di antara kedua pembicara di atas itu yang benar? Bagi saya sebenarnya tidak ada yang salah. Keduanya benar karena masing-masing mewakili aspirasi yang ada dalam masyarakat. Meskipun yang pertama mewakili penerbit, saya masih menganggap penerbit berorientasi pada kalangan pembaca di samping berusaha membangun “selera” pembaca, sedangkan untuk yang kedua, saya anggap juga mewakili mereka yang justru menginginkan agar karya asing terasimilasi dalam proses domestikasi.

Tentu saja ini bukan hal baru. Novel karangan Hector Malot berjudul Sans Famille terbit di Balai Pustaka denngan judul Sebatang Kara dengan tokoh-tokoh orang Indonesia. Ini jelas domestikasi. Sebaliknya, kumpulan puisi Victor Hugo berjudul  Le dernier jour d’un condamdé terbit dengan judul Hari Terakhir Seorang Terpidana Mati lebih berwarna transferensi karena kita diajak menglamai pengalaman spiritual yang digambarkan oleh terpidana delam ouisi tersebut, ukan di Indonesia tetapi di Prancis.

Saya juga teringat pada novel Ramadhan K.H. Royan Revolusi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis oleh Monoque Lajoubert. Dalam terjemahannya, kata sapaan seperti Kang, Neng, dan Ceu serta kata seperti bajigur dan kebaya tidak diterjemahkan. Kata-kata itu diberi catatan kaki. Ini merupakan upaya mengetengahkan nilai-nilai bahasa sumber dan suasana Jawa Barat yang digambarkan penulis novel melalui terjemahan bahasa Prancis. Suatu upaya “sending reader abroad”.

 

 

  1. 3.      Domestikasi, pada Penerjemahan Film

 

Ideologi domestikasi terjadi dalam penerjemahan film jenis sulih suara. Terjemahan film terdiri atas dua jenis, yakni (a) teks (subtitle) dan (b) sulih suara (dubbing). Masing-masing mempunyai karakteristik teknis yang berbeda.

Sulih suara memang dapat dijadikan kebijaksanaan pemerintah, baik dengan pertimbangan politik kebudayaan maupun atas pertimbangan selera masyarakat. Di Prancis misalnya, sulih suara merupakan sesuatau yang kelihatannya dituntut oleh masyarakat penonton mengingat (a) kebanyakan orang Prancis tidak menguasai bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, dan (b) sulih suara dilakukan oleh aktor-aktor terpilih, baik secara profesional maupun secara teknis [misalnya dengan memilih artis yang “warna suara”nya mendekati  pemain aslinya[6]]. Ini telah membuat masyarakat penonton di Prancis menjadi “keenakan” karena sulih suara yang dilakukan sangat mendekati kesempurnaan sehingga tidak dirasakan sebagai film asing. Di Paris, misalnya, film-film asing dengan versi bahasa Prancis (version française/VF) hasil sulih suara biasanya ditayangkan di bioskop-bioskop utama berkapasitas besar dan mewah  di jalan utama  seperti Avenue des Champs-Elysées, sedangkan film-film dengan versi asli (version originale/VO) umumnya diputar di bioskop-bioskop ukuran kecil di daerah dekat universitas seperti Quatier Latin di daerah gedung asli Universitas Sorbonne. Keadaan sekarang mungkin sudah sedikit berbeda, tetapi kecenderungan (baca: ideologi) domestikasi masih tetap mendominasi masyarakat. Saya membayangkan bahwa di luar ibu kota, di daerah-daerah, VF masih merajai gedung-gedung bioskop. Gejala budaya seperti yang saya gambarkan di atas jelas merupakan perwujudan ideologi domestikasi. Hanya saja saya melihat latar belakanganya lebih banyak sosiokultural daripada ekonomi [meskipun dalam pada itu para pengimpor film dan pilik gedung bioskop memanfaatkannya secara ekonomi].

Menurut pengamatan saya, penerjemahan buku di Prancis juga dilakukan dengan cara domestikasi. Buku John Lyons yang berjudul Semantics I dan II  diterjemahkan menjadi satu buku dengan hampir semua contoh dari bahasa Prancis. Dengan demikian, buku John Lyons tidak sekedar diterjemahkan, tetapi diterbitkan sebagai VF. Begitu pula dengan banyak buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Ideologi transparansi dan domestikasi masih mendominasi.

Ada suatu masa ideologi domestikasi diterapkan oleh Pemerintah Indonesia di jaman Orde Baru. Upaya ini terjadi di bidang penerjemahan film. Penerjemahan taks dan sulih suara sudah lama dilakukan di Indonesia. Namun, yang menarik adalah bahwa pada masa itu pemerintah mewajibkan televisi Indonesia menayangkan film asing pada saat “prime time” dengan penerjemahan sulih suara (dubbing). Sekarang pun sulih suara masih dilakukan, tetapi tanpa ada kewajiban dari pemerintah, dan kelihatannya hanya untuk film-film yang tidak berbahasa Inggris.

Masalah sulih suara di Indonesia pernah menimbulkan polemik. Saya pernah mengemukakan bahwa menetapkan kewajiban bagi televisi kita menayangkan film dengan terjemahan sulih suara — apalagi pada saat “prime time” — harus dipikirkan matang-matang.[7] Pertama, kita harus siap dengan penerjemah dan penyulih suara (dubbers) yang memenuhi syarat baik profesional maupun secara teknis. Saat saat ini kualitas profesional maupun teknis belum dapat dikatakan baik, apalagi mendekati sempurna seperti yang dilakukan di Prancis. Saya masih melihat dilakukan “asal-asalan”. Misalnya saja dalam hal lipsync (sikronisasi gerak bibir) masih banyak terjadi ketidaksesuaian. Ini tentunya akibat dari perbedaan fonetis fisiologis antara bahasa asli dan bahasa Indonesia. Apalagi kalau kita amati kesesuaian “warna” suara, secara teknis keadaan kita masih jauh ketinggalan. Rumah-rumah produksi masih belum mampu menyediakan dana yang memadai [karena stasiun televisi juga tidak mau membeli produk sulih suara yang terlalu mahal] sehingga cenderung mengambil penerjemah dan penyulih suara yang bersedia menerima honor kecil. Masalah lainnya adalah kesulitan kita memperoleh padanan untuk ragam bahasa sehari-hari [termasuk “bahasa gaul”] dan sosiolek atau dialek tertentu. Akibatnya, kebanyakan sulih suara menggunakan bahasa Indonesia baku. Ini membuat dialog sewringkali terasa tidak wajar.

Kedua, dampak sulih suara bisa positif atau negatif. Yang positif antara lain memudahkan “ketertontonan” [maaf, ini istilah baru instan yang beranalogi dengan “keterbacaan”]. Sedangkan yang negatif adalah kemungkinan film yang ditonton melalui media televisi itu terasimilasi ke dalam kebudayaan penonton sedemikian rupa sehingga tidak dianggap sebagai unsur asing lagi. Ini yang terjadi dengan berbagai tayangan sinetron asing – dari telenovela sampai ke film anak-anak – yang umumnya sudah menyatu dengan masyarakat berkat sulih suara. Kalau contoh yang diberikan dalam film-film tersebut baik, maka tentunya dampaknya positif [salah satu di antaranya adalah film kartun Dora Emon yang menyajikan pendidikan tanpa menggurui dan yang kualitas penyulihannya sudah cukup baik]. Akan tetapi, kalau yang disajikan adalah contoh yang tidak patut dicontoh atau menimbulkan efek peniruan, seperti kehidupan mewah dan kejahatan, maka tentunya menjadi negatif.  Lepas dari itu semua, memang upaya sulih suara merupakan upaya yang didasari oleh ideologi domestikasi.

 

 

  1. 4.      Masyarakat Kita Makin Terbuka

 

Pada pengamatan saya, kedua ideologi itu kelihatannya hadir bersama di masyarakat kita. Saya tidak melihat adanya dominasi salah satu ideologi secara mencolok. Masyarakat kita sangat terbuka akan kebudayaan yang datang dari luar, sehingga ideologi “foregnization” tidak ditolak, sedang ideologi “domestication” memang sudah lama hidup dalam masyarakat kita, terbukti dari banyaknya adaptasi yang dilakukakn sepanjang sejarah penerjemahan di negeri kita ini. Jadi,.semua itu bukan cuma terjadi sekarang. Nenek moyang kita menerima melalui terjemahan (lisan dan tertulis) unsur-unsur dari  kebudayaan Hindu yang bersama agama Hindu meninggalkan jejak yang sangat dalam, agama Islam yang kemudian disertai dengan masuknya kebudayaan Timur Tengah khususnya Arab,tetapi juga disertai lahirnya bentuk-bentuk khas dengan warna kebudayaan setempat, dan agama Kristiani yang diikuti dengan kebudayaan Eropa Barat. Pengaruh terjemahan tetap hadir dari jaman ke jaman.

Perlu dicatat di sini bahwa yang saya maksud dengan penerjemahan terdiri atas dua kelompok besar, yakni (a) penerjemahan antarbahasa[8] [yang biasanya kita kenal dengan sebutan “penerjemahan”], dan (b) penerjemahan nonbahasa [yang biasanya kita kenal dengan sebut “transfer budaya” melalui kesenian (sastra, musik, seni rupa, arsitektur), melalui teknologi, dan melalui sistem administrasi dan politik [yang terjadi sepanjang sejarah bangsa kita dengan makin terbukanya informasi melalui media cetak dan elektronik, dan sekarang melalui Internet]. Kedua jenis terjemahan ini ternyata saling mempengaruhi.

Perlu dicatat bahwa penerjemahan antarbahasa terdiri atas (a) penerjemahan “formal” yang layaknya kita sebut penerjemahan, dan penerjemahan “nonformal”, yakni penerjemahan yang dilakukan sambil berpikir, berbicara, atau menulis dalam bahasa Indonesia saat menemukan istilah atau ungkapan bahasa asing atau bahasa daerah. Ini adalah biasanya merupakan upaya untuk memperkenalkan terjemahan kata atau istilah baru (neologisme) yang masuk dari penerjemahan nonbahasa. Penerjemahan nonformal memiliki peran yang penting dalam meningkatkan produktivitas neologisme dakam bahasa Indonesia sehingga mendukung penerjemahan formal.

 

 

  1. 5.      Foreignization Makin Banyak Dianut

 

Ideologi foreignization, seperti telah dikemukakan,  bukan hal baru di negeri kita. Pada waktu saya masih remaja, di sebuah kota kecil di Jawa Barat, saya seringkali mengunjungi sebuah perpustaan kecil. Koleksi bukunya kebanyakan berupa novel dalam bahasa Sunda. Di samping itu ada sejumlah buku seri novel cerita Tiga Pendekar (Les Trois Musquetaires) dalam bahasa Sunda yang merupakan  terjemahan dari bahasa Belanda (diterjemahkan dari bahasa Prancis). Yang menarik adalah bahwa saya masih tetap merasakan bahwa apa yang saya alami secara virtual itu bukan Sunda tetapi sesuatu yang ada di negeri lain dengan kebudayaan yang berbeda. Saya merasa belajar banyak tentang kebudayaan Prancis melalui seri buku terjemahan itu. Ini jelas transferensi yang dadasari ideologi foreignization. Contoh lainnya ialah tentang masuknya soneta ke dalam khazanah puisi Indonesia. Ini jelas transferensi, yang mungkin juga menyangkut teksnya di samping bentuknya.

Metode transferensi yang merupakan perwujudan ideologi foreignization bahkan sekarang ini makin banyak dilakukan. Hal ini dilakukan dari mulai penerjemahan berita-berita luar negeri, buku ilmu pengetahuan dan teknologi, sampai ke karya sastra. Penerjemahan berita luar negeri dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia telah meninggalkan dampak pada diterimanya sekarang sejumlah ungkapan yang sebenarnya bukan bahasa Indonesia, misalnya Ditanya tentang…, Menteri menjawab…dan  [Asked about…. , the Minister said…], Menjawab wartawan, Menteri mengatakan… [Answering the journalist, the Minister said…]. Di bidang ekonomi dan kegiatan niaga kita menemukan  ungkapan seperti Ide ini baik sekali dan bisa dijual…[This is a brilliant idea, we can sell it…], kata bisnis menjadi pesaing keras kata niaga, kata target tidak lagi sama dengan sasaran, beberapa kata dari bahasa Inggris dibarkan begitu saja tanpa terjemahan, seperti, cessie, T-bond, spin-off, dan buy-back. Akhir-akhir ini masalah penggunaan kata impeachment yang juga merupakan kata baru dalam kehidupan politik kita.Di bidang komputer kita melihat banyak istilah dan ungkapan yang  bukan Indonesia. Misalnya, download, interface, monitor, memory, dan disket. Foreignization juga berlaku pada terjemahan novel dan cerita anak seperti telah saya kemukakan di atas. Upaya mencari padanan dari bahasa daerah atau bahasa Sanskerta tidak selalu berhasil karena kata yang diperkenalkan dianggap usang atau tidak dikenali oleh kebanyakan suku bangsa di Indonesia. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah penerjemahan fonologis, yakni menuliskan kata asing sesuai dengan sistem bunyi bahasa Indonesia. Demikianlah, kita menemukan kata seperti komitmen, komit, opsi, manajer, bisnis, fesyen, dan emiten.

 

6. Peran Faktor-faktor di Luar Teks

 

Masalah yang mendasar dalam penerjemahan adalah kesulitan menemukan padanan. Meskipun kita sudah menemukan kata atau ungkapan yang dianggap sudah sepadan, setiap unsur bahasa yang kita padankan masih terbuka untuk berbagai penafsiran.  Penerjemahan bukan sekadar pengalihbahasaan, tetapi upaya menemukan padanan yang tepat – penerjemahan yang “benar” dan “berterima” — untuk teks atau unsur teks bahasa sumber. Di sini saja kita sudah menemukan kesulitan karena pengertian penerjemahan yang “benar” dan “berterima” sangat tergantung dari faktor di luar teks itu sendiri. Akibatnya, makna kata, istilah, atau ungkapan pun – selanjutnya saya sebut unsur bahasa atau unsur teks — menjadi sangat tergantung dari faktor di luarnya.

Faktor luar apa yang mempengaruhi makna? Yang pertama adalah penulis teks [dengan istilah yang lebih umum pengirim atau pemroduksi]. Masalahnya, baik teks bahasa sumber maupun bahasa sasaran, keduanya sebenarnya sama-sama mempunyai sifat “derivatif”. Penulis, dalam menghasilkan tulisannya tidak bebas dari pengaruh pendidikan, bacaan, dan faktor luar lain yang mempengaruhi tulisannya. Ia sudah berada dalam jaringan intertekstual.[9] Apalagi teks terjemahannya. Faktor kedua adalah penerjemah. Penerjemah, dalam upaya mengalihkan pesan dari bahasa sumber tidak terlepas pula dari jaringan intertekstual tersebut. Penerjemah juga terpengaruh oleh ideologi dan melakukan mediasi sesuai dengan pertimbangannya. Faktor ketiga adalah sidang pembaca yang bisa mempunyai penafsiran yang bermacam-macam tentang teks terjemahan yang dibacanya, karena juga berada dalam jaringan intertekstual. Faktor keempat adalah perbedaan norma yang berlaku dalam bahasa sasaran dan bahasa sumber. Faktor kelima adalah kebudayaan yang melatari bahasa sumber yang berbeda dengan kebudayaan yang melatari bahasa sasaran. Faktor keenam adalah hal yang dibicarakan dalam suatu teks yang bisa dipahami secara berbeda-beda oleh penulis teks sumber dan penerjemah serta pembaca (cf. Newmark 1998: 4).

Oleh karena itu, suatu unsur bahasa yang digunakan dalam teks makna menjadi sangat tergantung dari faktor-faktor tersebut di atas. Penerjemah mempunyai tugas – dan tanggung jawab – yang berat karena ia harus mampu memahami dunia teks sumber dan dunia pembaca teks sasaran. Oleh karena itu, tidak ada penerjemahan yang sepenuhnya benar atau salah. Hal itu lebih-lebih lagi terjadi di bidang penerjemahan karya sastra. Dalam setiap proses penerjemahan, ia tidak pernah terlepas dari tindakan mengintervensi proses penerjemahan itu, yang dikenal dengan nama mediasi.

 

  1. 7.      Mediasi[10]

 

Lepas dari ideologi apa yang dipilih, di sini kita menyaksikan peran sentral seorang penerjemah. Keputusan yang diambilnya dalam memilih salag satu ideologi dalam menerjemahkan dapat didasari oleh keyakinannya, tekanan dari penerbit, atau keinginan memenuhi selera masyarakat pembaca. Ada kalanya penerbit  yang menentukan pilihan itu atas pertimbangan ekonomi atau kehati-hatian terhadap reaksi masyarakat.

Oleh karena itu, benar-salah dalam penerjemahan menjadi relatif. Penerjemah dalam hal ini mengintervensi proses pengalihbahasaan. Intervensi seperti itu dikenal dengan nama mediasi. Venuti (1955: 33) memberikan contoh dari terjemahan Latin-Inggris di mana penerjemah secara jelas melakukan mediasi.

 

Stipendia prima in Asia fecit Marci Thermi praetoris contubernio; a quo ad accersendam classem in Bithyniam missus desedit apud Nicomeden, non sine rumorem prostratae regi pudicitiae; quem rumorem auxit […]

 

Diterjemahkan  menjadi

 

Caesar first saw military service in Asia, where he went as aide-de-camp to Marcus Thermus, the provincial governor. When Thermus sent Caesar to raise a fleet in Bithynia, he wasted so much time at King Nicomedes’ court that a homosexual relationship between them was suspected, and suspicion gave place to scandal […]

 

Venuti mengamati bahwa terjemahan tersebut di atas berorientasi pada masyarakat sasaran  (Inggris) yang “homofobia”, yang pada jaman itu (1957) masih sangat dominan. Kata rumorem tidak diterjemahkan dengan rumours, tetapi dengan kata yang lebih “keras”, yakni suspicion [dalam konteks ini, was suspected]. Frase prostratae regi pudicitae alih-alih diterjemahkan dengan surrendered his modesty to the king diberi padanan yang lebih “terbuka”, yakni homosexual relationship. Kemudian, frase rumorum exit yang berarti the rumour spread diterjemahkan menjadi suspicion gave place to scandal. Venuti menyimpulkan dari contoh terjemahan ini bahwa ada mediasi ke arah domestikasi  yang didasari oleh pandanngan negatif tentang homoseksualitas.

Masih mengenai domestikasi, di bawah ini sebuah contoh kutipan penerjemahan dari novel Jacques Borel, L’Adoration dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Inggris oleh N. Denny [dikutip dari Newmark 1988: 184]. Novel Jacques Borel adalah sebuah novel psikologi yang menggambarkan situasi kejiwaan dari seorang pejuang Prancis melawan Nazi Jerman pada Perang Dunia II. Kutipan ini menggambarkan kesannya ketika kembali ke suatu kota yang ditemukannya kembali beberapa tahun setelah perang usai. Segi retorikanya – kalimat yang terputus-putus oleh koma dan pilihan kata yang memperlihatkan bahwa ia melihat sesuatu yang serupa tetapi tak sama — sangat penting karena memperlihatkan gejolak hatinya.

Cette rue, cette place ressemble à la rue, à la place d’alors: elles ne sont pas les mêmes, et, les autres, je puis avoir l’impression qu’elles existent encore.

 

Diterjemahkan menjadi

 

Those places look as they did then, but they are not the same; and as for the others, I have the feeling that they still exist.

[Newmark memperlihatkan terjemahan setia dari kalimat Borel di atas sebagai berikut: “This street, this square are like the street, the square of those times; they are not the same, and as for those others, I may feel that they still exist.”]

 

Kalimat di atas diterjemahkan dengan mengubah segi retorikanya [menggunakan metode yang mendekatikomunikatif], yang menurut Newmark dianggap oleh penerjemahnya sebagai lebih “cocok” bagi pembaca Inggris. “[…] Mr. Denny wanted to make an emotional, dramatic utterance into a calm, natural statement.” (ibid.). Ini adalah keputusan Denny, sang penerjemah yang dibayangi oleh ideologi domestikasi.

Contoh sebaliknya, foreignization, saya peroleh dari terjemahan puisi Victor Hugo [oleh Laddy Lesmana, tanpa tahun, diperkirakan 2003].. Di sini ada upaya untuk menghadirkan Victor Hugo dan suasana Prancis dalam bahasa Indonesia.

 

Bicêtre.

Condamné à mort!

Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seull avec elle, toujours glacé de sa présence, toujours coubé sous son poids! […] (halaman 1)

 

Diterjemahkan menjadi

 

Bicêtre.

Dihukum mati!

Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya! […] (halaman 2)

 

Je n’ai plus que trois pas à faire: Bicêtre, la Cociergerie, la Grève […] (halaman 37)

 

Diterjemahkan menjadi

 

Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui: penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grève […] (halaman 38)

 

Ah ça! Ne vous trompez pas; nous avons changé de pelure, monsieur et moi; […] (halaman 60)

 

Diterjemahkan menjadi

 

Ah! Jangan salah! Kami bertukar mantel, tuan itu dan aku […] (halaman 61)

 

Dari ketiga contoh di atas terlihat bahwa Lesmana ingin menjaga agar “jarak” antara bahasa sumber dan bahasa sasaran tetap dekat. Mengacu pada Gambar 1 di atas, ini adalah  faithful translation. Ada upaya agar Hugo dan Prancis hadir dalam bahasa Indonesia. Ini adalah mediasi yang didasari oleh ideologi foreignization.

 

  1. 8.      Bagaimana Sikap Kita?

 

Sudah barang tentu kita semua bertanya: “Bagaimana seharusnya kikap kita dalam menghadapi makin banyaknya karya terjemahan dewasa ini?” Baiklah saya kutip dulu bagian tulisan Itamar Even-Zohar (2000:192-197)[11] yang membicarakan kedudukan  karya sastra terjemahan dalam sistem kesusastraan yang beragam. Karya sastra terjemahan bisa memiliki posisi sentral atau periferal, tergantung dari keadaan sastra dalam suatu masyarakat pada suatu masa dalam sejarah sastra. Hal ini karena menurut Even-Zohar (2000:192) karya terjemahan (a) [...] their source are selected by the target literature […] dan (b) in the way they adopt specific norms, behaviors, and policies – in short, in their use of literary repertoire – […].

Dalam kaitan ini, Even-Zohar mengemukakan  bahwa karya terjemahan biasanya berada pada posisi sentral bila sastra bahasa sasaran masih “muda” atau berada dalam siatuasi “turning point” sehingga sastra terjemahan menjadi tumpuan untuk mengisi “kekurangan” yang dirasakan masyarakat. Atau memang di dalam masyarakat terasa adanya kebutuhan akan sesuatu yang baru. Ini makin mungkin terjadi dalam masyarakat yang makin terbuka. Sebaliknya sastra terjemahan menduduki posisi periferal bila sastra bahasa sasaran memiliki kedudukan yang kuat dalam masyarakatnya.

Namun, pada hemat saya semua itu tidak ada kaitannya dengan ideologi yang dianut oleh masyarakat sastra bahasa sasaran.  Penerjemah seringkali dipenngaruhi oleh kebutuhan menyesuaikan dengan tuntutan dan selera masyarakat – atau atau berada di bawah tekanan kepentingan penerbit – sehingga ia memilih salah satu dari dua ideologi, yakni “domestikasi” atau “foreignization”. Meskipun demikian, saya mengutip Even-Zohar untuk mengatakan bahwa apa yang digambarkannya itu tidak hanya terjadi dalam bidang sastra. Kita sudah menyaksikan sendiri bahwa tatkala ilmu pengetahuan  dan teknologi di negara maju sangat berkembang dan kita membutuhkannya untuk kemajuan masyarakat kita, karya terjemahan tiba-tiba menduduki posisi sentral. Dewasa ini hal itu masih terjadi karena kita memang sangat ketinggalan di bidang ilmu pengnetahuan dan teknologi. Hal yang sama juga terjadi dalam bidang bisnis, termasuk bidang periklanan. Jadi, ideologi dalam penerjemahan dalam masyarakat kita menjadi pilihan yang disesuaikan denngan kebutuhan masyarakat pembaca. Dalam hal ini, sikap kita seharusnya terbuka pada kedua ideologi yang saya kemukakan di atas. Keduanya dapat memberikan dampak positif atau pun negatif karena akhirnya karya terjemahan berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam jaman globalisasi seperti sekarang ini, hanya pendidikan dan peningkatan pengetahuanlah yang dapat menentukan (baca: menyaring) secara alamiah dampak dari sebuah terjemahan.

Jadi, kita sudah mendapatkan jawaban dari apa yang saya kemukakan pada awal tulisan ini: “bagaimana  terjemahan yang ‘benar’ itu?”. Dari apa yang saya uraikan, kita mendapat jawaban: “Tergantung ideologi yang kita anut”. Ini adalah pandangan secara makro[12] yang lebih menonjolkan pengertian bahwa faktor yang menentukan benar-salahnya suatu terjemahan seringkali berada di luar teks itu sendiri dan yang menempatkan penerjemahan serta karya terjemahan sebagai bagian kebudayaan masyarakat.

Dewasa ini penelitian di bidang ini boleh dikatakan belum ada. Sebaiknya para peneliti sudah mulai melakukannya agar sekian banyak pertanyaan tentang fenomena penerjemahan – khususnya karya sastra dan intelektual – seperti kualitas terjemahan dan perannya di dalam masyarakat kita dapat dijawab.

 

 

Jakarta, 1 September 2003.


Pustaka Rujukan

 

Barthes, R. 1957. Mythologies. Paris: Seuil.

Catford, J. C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University Press.

Even-Zohar, I. 2000. “The Position of Translated  Literature within The Literary Polysystem” dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 192-197).

Hatim, B. dan I. Mason. 1997. The Translator as Communicator. London/New York: Routledge.

Hoed, B. H. 2003. “Kiat: Mediasi” dalam Lintas Bahasa 22/2003. Jakarta: Pusat Penerjemahan FIB-UI.

Jakobson, R. 2000. “On Linguistic Aspects of Translation” dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 113-118). Karya asli terbit tahun 1959.

Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation. New York/London: Prentice Hall.

Nida, E.A. dan Ch. R. Taber. (1969) 1974. The Theory and Practice of Translation.  Den Haag: Brill.

Venuti, L. 1995. The Translator’s Invisibility. A History of Translation. London/New York: Routledge.

Vermeer, H. J. 2000. “Skopos and Commission in Translational Action (diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh A. Chesterman) dalam L. Venuti (Ed.) dan M. Baker (Adv. Ed.). The Translation Studies Reader. London/New York: Routledge (halaman 221-232). Karya asli terbit tahun 1989.

 



* Makalah untuk Kongres Nasional Penerjemahan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta; Tawangmangu, 15-16 September 2003.

** Guru Besar Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI), Mantan Kepala Pusat Penerjemahan FIB-UI, dan Ketua Umum Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI).

[1]  Pernyataan ini sebenarnya lemah, karena dalam penerjemahan teks ijazah pun ada faktor budaya yang bermain, misalnya perbedaan sistem pendidikan dan sistem pemberian nilai yang melatari bahasa sumber dan bahasa sasaran. Akan tetapi, saya kemukakan di sini untuk memberi tekanan pada pandangan saya bahwa penerjemahan dan karya terjemahan merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat.

[2]  Penerjemahan kata demi kata biasanya dilakukan dalam proses praktik penerjemahan atau analisis  terjemahan, sebelum sampai pada hasil final. Penerjemahan harfiah juga demikian. Tujuannya adalah agar seluruh komponen bentuk dan semantiknya dapat dikontrol secara cermat oleh penerjemah.

[3] Bahkan, Vermeer (2000: 221-232) berbicara tentang “skopos” (dari bahasa Yunani yang berarti “tujuan”). Skopos adalah suatu metode penerjemahan yang didasari oleh tujuan tertentu sehingga intervensi penerjemah dalam proses penerjemahan (yang biasanya didasari oleh permintaan klien) menjadi sangat dominan. Intervensi seperti itu dikenal dengan nama mediasi.

 

[4]  Yang dimaksud di sini adalah teks sumber yang oleh Venuti diartikan  “teks bahasa asing” (foreign text) ditinjau dari segi bahasa Inggris. Venuti  di sini membicarakan kegiatan penerjemahan di Amerika Serikat.

[5]  Istilah ini dapat kita temui pada Catford  (1965: 43-48): “It is, however possible to carry out an operation in which the TL [target language] text, or rather, parts of the TL text, do have values set up  in the SL [source language]: in other words, have SL meanings. We call this process transference.

[6]  Saya masih ingat pengalaman di Paris – dan sekaligus kagum – menonton Marlon Brando berbahasa Prancis dalam film On The Waterfront dan Audrey  Hepburn disulih menjadi berbahasa Prancis yang sosioleknya sepadan dengan bahasa Inggris Cockney di London dalam fim My Fair Lady. Ini sungguh menyenangkan penonton Prancis.

[7]  Saya perlu meminta maaf kepada pembaca karena tidak dapat menyebutkan dua tulisan saya mengenai sulih suara ini, yang pertama di sebuah surat kabar ibu kota dan yang kedua di sebuah laporan lokakarya yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas, tahun 1997 (?). Namun, saya masih ingat apa isi tulisan saya itu.

[8] Roman Jakobson bahkan berbicara tentang penerjemahan intrabahasa  yakni penerjemahan dari satu  ragam bahasa ke ragam bahasa yang lain. Jakobson menyebutkan tiga jenis penerjemahan (1)  intralingual, (2) interlingual, dan (3) intersemiotic. Yang terakhir pada pandangan saya mencakupi apa yang dsaya sebut dengan penerjemahan nonbahasa dalam karangan ini (lihat Jakobson 2000: 113-118; karangan aslinya bertahun 1959 dalam  R. Brower (Ed.). On Translation. Cambridge, Mass.: Harvard University Press).

[9]  Sebenarnya  penulis dan penerjemah berada dalam konteks sosial budaya tertetu. Istilah intertekstual dimaksudkan mempunyai makna yang yama dengan sosial budaya, tetapi dengan tekanan pada  konsep kebudayaan sebagai teks.

[10]  Sebagian dari seksi nomor 6 ini mengandung banyak kutipan, dengan baberapa perubahan dan tambahan, dari tulisan saya di majalah Lintas Bahasa nomor  22 (terbaru) tahun 2003 [dalam rubrik Kiat] terbitan Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

[11]  Tulisan ini terdapat dalam Venuti (Ed.). 2000. The Translation Studies Reader. Aslinya terdapat dalam jurnal Poetics Today #11 (1990): 54-51.

[12]  Pandangan secara mikro tentang benar-salah dalam penerjemahan biasanya  didasari oleh tiga faktor, yakni (1) linguistik [sintaksis, semantik, pragmatik], (2) kiat menerjemahkan [misalnya transposisi dan modulasi],  (3) pertimbangan estetis, dan (4) selera penerjemah/pembaca (cf. Newmark 1988: 189)

An Error Analysis in Translating English From Indonesian

$
0
0

Oleh :

Indiyah Imran

Ni Luh Putu Setiarini

Ati Sumiati

Anita

GunadarmaUniversity

ABSTRACT

     The research entitled “An Error Analysis in Translating English from Indonesian”, may contribute in solving one of the translation problems. Students find translating Indonesian to English much more difficult than the reverse. As difficulty may manifest in errors, translation teachers, students, and practitioners may learn the stumbling blocks of translation.

Based on the research questions: what are the errors and the cause of errors in translating English from Indonesian? Besides, the application of 6 working theories, such as 1) error analysis, 2) errors, 3) classification of errors, 4) discourse errors, 5) interlingual and intralingual errors, and 6) the differentiation of discourse, syntactic, and lexical errors. This research aims to describe the discourse, syntactic, and lexical errors. Besides, explaining the cause of errors.

The instrument consists of 17 texts as source language. Each text consists of several paragraphs which form a discourse. The paragraphs are from Pramoedya Ananta Toer’s novel, entitled “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer”. The translators are S2 students from the Translation Department, Gunadarma University. Data is located in the students’ English translation as target language.

Data are classified into 1) discourse errors, 2) syntactic errors, and 3) lexical errors. The last mentioned is the highest 56 %, followed by syntactic errors 36 %, and the least are the discourse errors 8 %. Discourse errors are classified into partial and entire discourse errors. Syntactic errors are classified into 1) sentence function, 2) tenses, 3) word order, 4) agreement rules, and 5) construction. Each sub-class is further sub sub-classified. Tense errors are the highest 50 %, followed by construction errors 31 %. Lexical errors are sub-classified into:  1) misselection of words 2) derivational suffixes, and 3) function words. Errors in misselection of words are the highest 72 %, followed by errors in function words 23 %, and the least are errors in derivational suffixes 5 %. The sub-class is also further sub sub-classified.

INTRODUCTION

Background

Students are reluctant to translate Indonesian into English, because it is much more difficult than the reverse. As difficulty may manifest in errors, this research may contribute in solving one of the translation problems. By understanding the major English translation errors, teachers, students, and practitioners may learn the pitfalls of translating Indonesian into English.

Three previous researches, which are related to translation and error analysis made this research more aware of what aspects in the research, need more highlighting or deeper insights.

 

Research Question and Aim of the Research

Based on two research questions 1) what are the students’ errors in translating English from Indonesian and 2) what cause the errors, and with the application of the working theories, this research aims to 1) describe the discourse errors, syntactic errors, and lexical errors 2) explain cause of the errors which may be interlingual or intralingual.

 

Working Theories

The working theories are 1) error analysis (Ubol, 1981:8): a systematic description and explanation of students’ errors or language user, in using the target language, either spoken or written. This theory is applied in the discussion of the errors. After presenting some errors, the next phase is the description of the errors, then it is followed by an explanation of the cause of errors, 2) the theory of errors (Dulay and Krashen in James, 1998:93), are any violation of a language rule, unacceptable linguistic form, or wrong connotation. In this research, if a sentence has more than four errors, the sentence is considered as faulty data, 3) type of errors (Langacker, 1972; Dulay in James 1998) consist of phonology, graphology, grammar, lexis, text or discourse. This research differentiates three types of errors, discourse, syntactic, and lexical. 4) Interlingual and intralingual errors (Richards, 1974; James, 1998) have different sources of errors. The first is a transfer of the source language into the target language. The latter has the source in the target language. The translator does not master the target language well, so that he may make a false generalization, an incomplete application of a linguistic rule, or simply ignorance of the linguistic rules of the target language. These theories are applied in the explanation of the cause of errors. 5) Discourse analysis (Murcia and Olshtain, 2000: 4) studies language use that extends beyond sentence boundaries. 6) Discourse (Kridalaksana, in Sumarlan, 2003:5) is a complete form of writing which may be a novel, an article, a paragraph/s, a sentence/s, or even a word which contributes a complete meaning to the context. 7) Differentiating Discourse, Syntactic, and Lexical Errors. The definition for discourse, syntax, and lexicon are clearly distinctive, but to differentiate errors in those three levels are not easy.

 

Compare these three sentences:

Error                                                   Correction

a). We were driven into a subterranean fort.                                      bunker

b). There was no savior.                                                                     nobody to help

c). She___ called Sumiati.                                                                  was called

In sentence a, the error involves only one or two words and does not involve the whole meaning of the sentence (this is a lexical error). The error is in choosing between two words, which are synonyms. Bunker is better, as subterranean is usually for rivers, springs, and lakes. In sentence b, it is an error of register, because savior is in the register of church discourse, such as, “Jesus is my savior”. For daily discourse, the word help is more appropriate. So, sentence b is a discourse error. Sentence c is a syntactic error, as it involves the whole aspect of the sentence. “She called Sumiati”, the sentence is active, on the other hand, “She was called Sumiati” the sentence is passive. In the Source Language (SL), “Ia bernama Sumiati.”

 

Method and Technique of Research

The instrument to collect data consists of 17 texts. Each text consists of several paragraphs, which form a discourse. The paragraphs are from Pramoedya Ananta Toer’s novel “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.” Then, the students (Gunadarma S2 students) translated the text, which is in the source language (Indonesian) into the target language (English). Source of the data is the students’ English translation. The data are the errors, which the students made in their English translation. By using the qualitative and descriptive method, data are collected by using those instruments mentioned above, and are further classified into discourse errors, syntactic errors, and lexical errors. Those three classes of errors are further sub-classified and sub-sub classified. Interpretations of the data are in the discussion sections.

 

2. DISCOURSE ERRORS

 

2.1.      Introduction

The theories applied here are Kridalaksana in Sumarlan and Murcia-Olshtain’s which have been mentioned before. Data are classified in 1) partial discourse errors and 2) entire discourse errors. The first involves a word or words, sentence and paragraph. The latter involves more than one paragraph or the whole text.

Discourse errors are the smallest, 25 or 8%. The partial discourse errors are 15 and the entire discourse errors are 10. Partial discourse errors comprise register, incohesive sentence errors and personal pronouns. Entire discourse error comprises tense errors. This paper will not discuss register errors.

 

2.2        Partial Discourse Errors

2.2.1.    Incohesive Sentence Errors

Examples:

Error                                       Correction

(1) The complex relationship between navy              the difficulty of sea and

            Sulitnya hubungan laut dan                                        air transport

and airmade the Dai Nippon

udara menyebabkan balatentara 

army unable to get

Dai Nippon tak lagi bisa


hostesses from Japan, China and Korea.

            mendatangkan wanita penghibur

dari Jepang, Cina, dan Korea.

 

(2)   By using German strategy,

Dengan menggunakan taktik Jerman,

Japan launched a sudden war                                                blitz krieg

Jepang melancarkan perang kilat

to South East Asia.

keAsia Tenggara.

 

Discussion

In sentence 1, the first half of the sentence is incohesive with the second half. The first half is the cause, while the second is the effect. “The complex relationship between navy and air” is incohesive with  “not able to get hostesses from Japan, China, and Korea,” but the correction is “the difficulty of sea and air transport” makes the sentence cohesive as a cause and effect sentence. In sentence 2, the word in sudden war anaphorically refers to German strategy. And, the German strategy (of war) exophorically refers to blitz krieg. That is why sudden war must be replaced by blitz krieg to make the sentence cohesive.

The cause of errors is that the translator did not read the whole sentence to understand its meaning, and after translating they did not reread.

 

2.2.2 Personal Pronoun Errors

As the previous errors are endophoric the personal pronoun errors are exophoric or the reference is in the adjacent sentence/s.

Error                                                               Correction

(3) 1st line “Don’t call Yako with its name, Sir.”                                  me       that                  “Jangan panggil saya dengan nama itu, Pak.”

2nd line        “ It is not my name.”

Itu bukan nama saya.”

(4) 1st line       “(…) he said in his mother tongue (…)                       she      her

“(…) ia berkata dalam bahasa ibunya(…)

4th line      “If your husband is not at home, don’t

Kalau suamimu tidak di rumah, jangan

go far away from home.”

pergi jauh-jauh

Discussion

The personal pronouns of sentence 2 in the first line and the one in the second line are incohesive, because there is a cataphoric relationship between the first and the second line. So, sentence 2 should be, “Don’t call me (Yako) with that name, Sir.”

The personal pronoun in sentence 3 on the 1st line is incohesive too. The inference of your husband is husband is male and your is the wife or she. So, sentence 3 should be “(…) she said in her mother tongue.”

 

2.3  Entire Discourse Errors

These errors may involve more than one paragraph or the entire discourse. They are all tense errors.

Error                                                               Correction

(5) Line 10 It isn’t much to write,                                                   wasn’t

Dari pertemanan kedua itu tak banyak

after the second meeting

yang dapat dikutip.

(6) Line 13  (…) her parents refuse                                                           refused

(…) orang tuanya menolak

Tense reference: In 1994, I was 14 years old

Line 10: Pada 1944, berumur 14 tahun

Discussion

Sentence 6 in text 8 is one example of tense error. It should be in past tense. The entire text 8 is written in the simple present tense. Text 7 has some sentences right and some are wrong. The cause of errors is that the translator did not read and understand the entire text before translating, because in the text there are sentences that can give a clue to the right tense.

 

3. SYNTACTIC ERRORS

In this research, data of syntactic errors are 36%. The errors are classified into sentence function, tenses, word order, agreement rules, and construction. Tense errors are the highest, 50 or 50%, then it is followed by construction errors 31 or 26,05%. Only the first and the second highest total number of errors are to be discussed. The difference between grammatical rules between Indonesian and English constitutes the reason of errors in translating the text, particularly errors in translating tenses and construction. Errors in construction are due to interlingual and intralingual error.

Errors in tenses are classified into wrong choice and inconsistency in the use of tenses. The percentages of errors in wrong choice 45 or 38%, inconsistency errors are 5 or 4,23%.

3.1 Errors of Tenses

3.1.1.         Errors of Tense Misselection

Error                                                               Correction

(7) (…) she asks politely with tears streaming                                   asked

down her face.

(…) ia memohon dengan air mata bercucuran.

(8) The boat stops at one island after the other.                               stopped

           Kapal tersebut menyinggahi pulau demi pulau.

 

Discussion

The tense used in sentence 7 and 8 should be in simple past tense. In expressing tense besides using adverbial time, English also uses the change of verb form in accordance to time. Meanwhile Indonesian express tenses by use adverbial time only, e.g., kemarin, sekarang, besok.

3.1.2        Errors in Inconsistency Use of Tense

Error                                                              Correction

(9) She began to understand what is really happening to                   was

them.

            Mulailah ia mengerti apa yang sesungguhnya terjadi.

(10) Those who didn’t get a turn have to wait (…).                            had

            Mereka yang belum mendapat giliran harus.

            menunggu (…).

 

Discussion

In sentence 9, the verb is should be was because the preceding verb is began. In sentence 10, students made error in using have. It should be had, because the proceeding verb is didn’t. The errors are due to the influence of the source language. The Indonesian verbs do not change whether it is in the part, present or in the future. In Indonesian tenses is indicated by adverbial time such as kemarin, sekarang, besok, lusa, etc.

 

3.2Errors of Construction

Construction errors are second highest 31 or 27%. Construction means a grammatical pattern consisting of two or more immediate constituents (Agnes, 2002:313). In this research, construction errors can be classified into (1) passive and active errors, (2) apostrophe ‘s and compound words, (3) ellipsis, and (4) verb+ing.

In this paper only the first and the second type of errors are discussed.

3.2.1        Errors of Passive and Active Construction

Error                                                                                 Correction

(11) When Japan surrendered they neglected.                              were neglected

Ketika Jepang menyerah mereka ditelantarkan.

 

(12) “You will be grabbed by the wicked men”                                The wicked men

“Nanti kamu disambar orang-orang jahat”                                 will grab you

 

Discussion

In English, the passive construction consists of to be + past participle. The translator left out to be in translating passive sentences. They cannot distinguish between active and passive constructions. It is due to interlingual interference. In the source language active and passive verbs are indicated by morpheme, i.e. me-, ber, for active and di-, ter- for passive. Indonesian has tendency to have passive sentences, while English has the tendency to have active sentences. For example sentence number 12 is not wrong grammatically, but it sounds unnatural. The translator tends to translate the text literally.

3.2.2  Errors of Apostrophe ‘s

Error                                                                     Correction

(13) Sumiati tears started to flow                               Sumiati’s tears

Air mata Sumiati mulai bercucuran

(12) The Japanese’s troops were transferred            Japanese troops

to the front

Balatentara Jepang dipindah ke garis depan

 

Discussion

In sentence 11 the translator does not add inflectional suffix ‘s (apostrophe ‘s) and the error of sentence no 12 is caused by superfluous use of apostrophe ‘s after Japanese. We do not need to put apostrophe ‘s because the head word of the phrase is troops instead of Japanese. However in Sumiati’s tears the headword is Sumiati so that we should add apostrophe ‘s after Sumiati. The causes of errors are intralingual, as the translator cannot differentiate the position of the headword in a genetive and compund word construction.

 

 

4.      LEXICAL ERRORS

 

4.1.                  Introduction

Lexicon is the set of all the words and idioms of any language, while word is the smallest of the linguistic units which can occur on its own in speech or writing (Richards; Platt, et al, 1985: 165) and in writing words are separated by spaces. Lexicon consists of content words and function words (Murcia and Olshtain, 2000: 76). Although function words are included into grammatical markers and have grammatical meaning, this research classifies error of function words as lexical errors, because errors in function words involve only one word. On the contrary, errors in syntax involve more than one word or the whole sentence. Morpheme is the smallest phonological units that recur with constant meaning (Langacker, 1972: 41). This paper also classified derivational suffixes into sub category of lexical errors, because all errors occurred only in derivational suffixes. Translators tend to change or leave out the derivational suffixes. Derivational suffixes may change the word-class of the word base—i.e. nouns can become verbs, and adjectives can be derived from nouns. (Haspelmath, 2002: 68).

In this research, lexical errors are classified into three subclasses 1) errors in misselection of words, 2) errors in function words and 3) errors in derivational suffixes. Among those three subcategories, 1) errors in misselection of words are the highest 72%, followed by 2) errors in function words 23%, and the least is 3) errors in derivational suffixes 5%. As for the cause of errors in the lexical errors, interlingual errors or errors influenced by source language interference is the highest 72%, meanwhile errors caused by intralingual or by target language interference is 28%. Sub-category of errors in misselection of words are further sub sub-classified into three, they are misselection of: 1) words which have different meaning (45%), 2) words which have similar meaning (22%), and 3) idiomatic expression (6%).  Errors in function words are sub sub-classified into: 1) absence of function words (13%), 2) misselection of function words 7%, and 3) superfluous use of function words (8%). Errors in derivational suffixes are 5%. Not all errors in the sub categories will be discussed, only the first highest and the second are discussed.

4.2. Errors in Misselection of Words

Errors:                                                                  Correction

(13).  “(…) to become a soldier to defend                                           officer

“(…) untuk jadi perwira dan mempertahankan

his fatherland from the alliance attack.”

tanah airnya dari serangan sekutu.”

(14). “(…) and they didn’t have the heart

“(…) dan mereka tidak sampai hati

to stain the family name.”                                                                      dishonor

mencemari nama keluarga”     

 

Discussion

In sentence 13, the error is caused by misselection of words which have different meaning. The translator is using a more general term where a more specific one is needed (superonym for hyponym), the result is an underspecification of the meaning (James, 1998: 151). An officer and a soldier have different rank in the army, where officer is higher than soldier, so the translator has to be careful in dealing with these terms. The sentence should read, “(…) to become an officer to defend his fatherland.” In sentence 14, it is the errors in misselection of words which have similar meaning. The translator uses the wrong one from a set of near-synonyms causes the error. The word stain means being disgrace or damage to somebody’s reputation, change the color of something (Oxford, 1989:1246), but based on the context the correct word should be dishonor which means loss of honor or respect or bring dishonor to a family (Oxford, 1989:345).

Both sentences are very much influenced by the interference of TL (intralingual). The translator’ ignorance of a TL form can lead to false analogy. The translator wrongly assumes that the TL word behaves like SL words (James, 1998: 185).

4.3. Errors in Function Words

Error                                                                                                   Correction

(15) “I am one of ___ 22 girls from the same home town.”                               the

Saya adalah salah seorang dari 22 gadis dari

                      kampung yang sama”

Discussion

Sentence 15 is an example of error caused by absence of function word. The translator leaves out the article in the sentence. The article the functioning as adverb to explain the definite noun phrase of the word 22 girls. So the article the in the above sentence must be exist. The cause of error is source language interference (interlingual), there is no article in the target language while it is required in the source language to replace the word ‘dari’ and also because source language function words is less than function words in target language.

4.4. Errors in Derivational Suffixes

Error                                                                                 Correction

(16) “(…) as entertain for the Japanese soldiers.”                 entertainment

“(…) sebagai hiburan para serdadu Jepang.”

 

Discussion

In this example, the translator did not change the word class from verb into noun also, instead the translator change the word class into verb form. This is wrong since what is intended from this text is hiburan (noun form in source language), and then we should retain the form of noun in the target language as entertainment.

This error in sentence 16 is caused by interference of the target language (intralingual) that is the ignorance of translator in recognizing the existence of word classes by suffixation.

 

 

5. CONCLUSION

The data in this research gave evidence to the research questions: (1) what are the student errors in translating English from Indonesian? And (2) what are the cause of the errors?

The research presented three classes of errors, discourse, syntactic, and lexical errors. The lexical errors are the highest, followed by the syntactic errors, and the least are the discourse errors. The last needs more insights, so that the data can be better interpreted.

The major cause of errors is that translators do not read the entire text to understand its meaning and its content before translating and reread after translating. As lexical errors are the highest it means that the translators do not read much English. Interlingual errors occur more than intralingual. Differentiating those two are not always easy.

Suggestion

A translator should be more aware of the important role of discourse in translation. This research had better be followed by an error analysis of translating Indonesian from English. So far, we take it for granted that Indonesians do well in translating English into Indonesian.

 

 

BIBLIOGRAPHY

Crowell, Thomas Lee Jr., 1964, “Index to Modern English” London: Mcgraw-Hill Inc.

Greenbaum, Sidney and Quirk, Randolph, 1990, “A Student’s Grammar of the English Language”, England: Pearson Education Ltd.

Hatim, Basil. 2001. “ Teaching and Researching Translation”. England: Pearson Education Ltd.

James, Carl. 1998. “Errors in Language Learning and Use Exploring Error Analysis”. New York: Addison Wesley Longman Inc.

Langacker, Ronald W.1972. Fundamentals of Linguistic Analysis. New York: Harcourt Brace Jovanovich.

Murcia, Celce Marianne and Olshtain, Elite, 2000, “Discourse and Context in Language Teaching”, England: the Press Syndicate of the University of Cambridge.

Murphy, Raymond, 1985, “English Grammar in Use”, England: Cambridge University Press.

Oxford Advanced Learners, 1989, Oxford: Oxford University Press

Richard, Jack, et al, 1985,”Longman Dictionary of Applied Linguistics” England: Longman Group Ltd.

Sumarlam, et al,. 2003. “Teori dan Praktik Analisis Wacana: Surakarta: Pustaka Cakra Surakarta.

Tallerman, Maggie,1998, ”Understanding Syntax” London: Oxford University Press

Ubol, Charas, 1981, “An Error Analysis of English Composition by Thai Students, Singapore: Seameo Regional Language Centre.

 

CURRICULUM VITAE

 

Indiyah Imran was born in Baturetno, August 8, 1932. She started Elementary School, then finished high School in 1938-1954. Standard Training Course, Yogyakarta, 1956. IKIP Malang English department, 1962. Post Graduate Studies for Indonesian Linguistics, Leiden University, Netherlands, 1973. Dissertation, “The Morphological Process of the Macassarese Word Classes” was in Hasanuddin University, Ujung Pandang, 1984. Inaugurated as professor of Descriptive Linguistics in IKIP Medan, 1985 Teaching Career. SGA Pamekasan-Madura, 1956-1958. IKIP Ujung Pandang 1962-1984. IKIP Medan 1984-1988. IKIP Bandung 1988-1998 (retired). Post Graduate Studies in Linguistics, Univ. Padjadjaran 1989-1998. University of Trisakti 1998-2001. Faculty of Letters S1 and S2 Gunadarma University. 2001-up to now.

Ni Luh Putu Setiarini was born in Sangsit, August 11, 1976. She started Elementary School in 1982 in Jakarta, then finished junior high school in 1991. In 1994 she finished high school and continued her diploma in Akademi Bahasa Asing “Yogyakarta” and continued her studies in 1998 in Gunadarma University. She has taught in Gunadarma since 2000. Now she is taking her graduate program majoring translation studies in the same university.

Ati Sumiati was born in Jakarta, September 18, 1977. She started Elementary School in 1984 and finished high school in 1990 in Jakarta. In 1996, she continued her undergraduate study in Faculty of Letters, Gunadarma University. She has taught in Gunadarma since 2000-up to now. She is also taking her graduate program majoring translation studies in the same university.

 


MAYANTARA SCHOOL OPEN CLASS

$
0
0


Mayantara School  membuka Kelas Reguler Bahasa Jerman Angkatan I.
Kelas Reguler akan dimulai tanggal 2 September 2013.
Untuk Placement Test akan diadakan tanggal 1 September 2013.
Pendaftaran dibuka mulai tanggal 12 Juli 2013 sampai 31 Agustus 2013.
Bagi 10 pendaftar pertama kelas reguler akan mendapat potongan biaya pendaftaran sebesar 50%.
Fasilitas yang didapat antara lain :
- Ruangan kelas yang nyaman
- Pengajar yang kompeten dan komunikatif
- Tryout internal
- Lembar Laporan Hasil Pencapaian Kompetensi
- Sertifikat lembaga

Keterangan lebih lanjut hubungi Ratih Putri (085 649 77 97 94) atau langsung datang ke kantor sekretariat kami di Jl. Puncak Jaya 11 Malang.

Pendidikan Anak-Anak Kita

$
0
0

Oleh RHENALD KASALI

SETIAP memasuki tahun ajaran baru saya sering tidak bisa tidur lebih awal. Sering saya baru bisa tidur pukul 2-3 dini hari karena mendengarkan cerita-cerita menarik dari istri saya yang mengelola TK dan PAUD di beranda rumah kami.

Dia seperti tak henti-hentinya bercerita bagaimana anak-anak itu dia temukan dan dia bentuk. Dia mengirim ibu-ibu guru binaannya hingga ke pelosok-pelosok kampung sekitar, mengajak orang tua agar menyekolahkan anak-anaknya di sekolah itu. Selalu saja ada cerita yang menarik dan mengharukan.

Kalau Anda perhatikan, rendahnya angka partisipasi sekolah pada level pendidikan tinggi dan SMU bangsa ini lebih disebabkan oleh tidak dikirimnya anak-anak itu ke taman kanak-kanak yang bermutu oleh orang tua, yang mengakibatkan rapuhnya fondasi bangsa.

Istri saya membuat taman kanak-kanak, bukan universitas yang buat menghasilkan uang, meskipun suaminya profesor dan pasti gampang mencari calon mahasiswa. Sudah begitu, digratiskan pula. Teman-temannya suka menyatakan kami ini suami-istri yang sinting. Cari uang banyak-banyak bukan buat beli rumah di Pondok Indah, tetapi buat bikin PAUD di kampung, di Pondok Gede. Sudah begitu, duitnya ngga ada pula.

Kalau memakai teori ekonomi seperti yang saya pelajari, ini pun pasti tidak lulus ujian di UI. Gedungnya dibuat bagus, guru-gurunya banyak, satu guru untuk 8-10 murid. Setiap jalan-jalan atau besuk anak ke luar negeri, yang diborong hanyalah alat-alat edukasi dan buku cerita anak-anak. Padahal, anak-anaknya sudah duduk di bangku kuliah.

Tetapi, saya mau bilang kepada Anda, anak-anak itu butuh kita, butuh orang tua yang menaruh perhatian. Seperti kata Bill Gates, “Anak-anak adalah penyita waktu terbesar saya”.

Kisah Ali

Ali bukan nama sebenarnya. Beberapa waktu lalu dia diantar orang tuanya untuk masuk TK. Orang tuanya adalah pasangan muda yang bekerja keras. Ibunya guru yang mengajar di beberapa tempat. Sewaktu mengantarkan anaknya, dia mengatakan bekerja sangat keras mengumpulkan uang buat masa depan anak-anaknya. Tetapi, sewaktu datang, istri saya melihat anak ini susah diajak berdiri. Dia terlihat begitu cepat merosot ke bawah, mudah menangis, dan berteriak.

Istri saya segera menangkap sinyal.Dia pun mengobservasi anak ini beberapa hari, sampai akhirnya menemukan bahwa anak ini punya masalah dalam motorik kasarnya. Dia pun segera mengajak guru-guru untuk cepat menangani Ali. Anak ini sudah 5 tahun, namun secara motorik punya masalah masa depan.

Di Rumah Perubahan kami mempunyai pendapat lebih baik anak-anak gagal sekali dalam hidupnya daripada gagal selama-lamanya. Istri saya pun ingat kalimat itu. Dia pun memanggil orang tua dan memeriksa laporan-laporan perkembangan anak itu yang dikeluarkan sekolah sebelumnya. Semua tertulis begitu bagus, namun dia berpendapat lain. Dia lalu meminta catatan-catatan medik anak itu. Perlahan-lahan terungkap bahwa anak ini masuk kategori berkebutuhan khusus sehingga perlu ditangani dengan perhatian lebih. Orang tuanya menangis. Tetapi, suatu hal yang jelas adalah: banyak orang tua yang berpura-pura tidak tahu bahwa anaknya punya masalah.

Masalah itu bukan untuk ditutup-tutupi. Juga bukan untuk dijadikan bahan olok-olokan, melainkan sebagai alat untuk membentuk masa depan si anak. Setelah itu mereka sepakat untuk membangun kembali motorik kasarnya dari awal. Ini membongkar kembali fondasi yang dulu ditanam seadanya.

Dengan kesepakatan orang tua, Ali lalu dipindahkan pada kelas yang lebih rendah. Dia duduk di ‘PG’ (play group) meski usianya lebih tua daripada yang lain. Oleh istri saya dia diberi kompensasi untuk hanya bermain Sentra bahan-bahan alam. Dia mulai diajak belajar merobek kertas. Kalau Anda turut menyaksikannya dan melihat dengan hati, saya percaya Anda pasti akan menitikkan air mata.

Ali terlihat gembira. Mulutnya terbuka. Namun, seharusnya di usia segitu, Ali sudah harus bisa memotong kertas sambil melipat lurus. Ali merobeknya sambil berteriak. Ketika diberi titian di atas ‘batu’ yang memanjang, Ali terlihat lepas. Dia mulai belajar berdiri. Dia diberi dispensasi bermain tanpa alas kaki, berbeda dengan teman-temannya. Dia diajak bermain, berlari di atas rumput yang masih dibasahi embun pagi. Dia terlihat riang dan berteriak, kendati teman-temannya merasa aneh. Teman-teman Ali, dengan metode Sentra, sudah terbiasa diajak saling mendukung.

Dalam seminggu Ali terlihat mengalami “keterlepasan”. Seolah ada sesuatu yang menekan hidupnya. Dan, untuk membangun masa depan kita memang harus berani berubah dari hal-hal yang mendasar.

Anda tentu bisa bergabung dengan kitabisa.co.id untuk meminjamkan kepintaran Anda, untuk ikut melakukan perubahan. Sebab, di luar sana ada banyak anak berkebutuhan khusus yang perlu bantuan. Mereka kini sebagian sudah dewasa, sedang berpeluh keringat memasak minyak kayu putih di Pulau Buru, belajar di terminal, dan sebagainya. Sebab, perubahan itu memang butuh kolaborasi besar-besaran. Anak-anak kita pasti butuh kasih sayang kita, dan Anda pun pasti bisa.

Rhenald Kasali (@Rhenald_Kasali)
dimuat di Jawapos, 24 Juli 2013

Berikan Kursus Gratis, Ciputra Luncurkan Universitas Online

$
0
0

Pada hari ulang tahun ke-82, pengusaha Ciputra meluncurkan program pelatihan kewirausahaan gratis di Universitas Ciputra Entrepreneurship Online (UCEO). Dengan UCEO, pria kelahiran Parigi, Sulawesi Tengah, itu kemarin (25/8) menargetkan mampu mencetak 4 juta wirausahawan baru dalam 25 tahun.

Program UCEO, dikatakan Direktur Grup Ciputra Antonius Tanan, dibiayai dengan satu persen keuntungan kelompok usaha Ciputra. Peserta program dapat mengakses situs http://ciputra-uceo.com untuk memperoleh pelatihan dalam se­jumlah bisnis. Di antaranya, ritel dan properti. Seluruh program pelatihan tersebut gratis asal memiliki akses koneksi internet.

Hingga kemarin, sudah 7.504 mahasiswa yang mendaftar dalam waktu lima hari sejak program tersebut diluncurkan. Pendaftar berasal dari 173 kota di 39 negara. Padahal, seluruh kursus diselenggarakan dalam bahasa Indonesia. “Artinya, program ini bukan hanya mampu memacu pertumbuhan kewirausahaan di Indonesia, namun juga memacu kewirausahaan WNI yang berada di 39 negara,” ucap Antonius Tanan di Ciputra World.

Selain memperoleh akses untuk bahan ajar dan video ajar, peserta kursus bisa langsung bertanya kepada Ciputra melalui fitur chatting #AskPakCi. “Ini adalah program yang memberikan pendidikan seperti di bangku kuliah, namun tidak memberi nilai dan gelar,” kata Antonius.

Ciputra pun mengaku bersyukur karena tidak perlu keliling 3 ribu universitas untuk menularkan virus kewirausahaan yang dirintisnya bertahun-tahun lalu. Melalui kursus online yang bahannya disiapkan para pakar dan praktisi kewirausahaan, seluruh program tersebut dapat diakses secara gratis setiap saat tanpa batas waktu.

Ciputra kemarin juga langsung menjawab pertanyaan peserta kursus yang menanyakan cara mengawali bisnis di bidang yang sudah banyak pesaing kuatnya. Menurut Pak Ci -sapaan akrab Ciputra- seorang wirausaha harus memantapkan diri akan berbisnis di bidang apa, lantas belajar segala hal tentang kekuatan dan kelemahan pesaingnya. “Lakukan apa yang tidak mereka lakukan. Sebab, banyak yang tidak dapat dilakukan oleh pesaing, namun dapat kita lakukan,” katanya.

Dia juga menjawab modal bukan masalah karena seorang pebisnis dapat mengawali bisnis dengan cara berpartner, joint venture, ataupun mencari investor murni. Hal yang sama dilakukannya ketika lulus dari ITB pada usia 31 dan tidak memiliki modal untuk berusaha. Namun, dengan kepercayaan dari Gubernur DKI Soemarno ketika itu, Ciputra yang berpartner dengan Pemprov DKI Jakarta mendirikan Jaya. “Tanpa modal, saya bisa membangun proyek Senen, lantas Ancol, Dunia Fantasi, dan Bintaro Jaya. Itu saya lakukan selama 34 tahun sebelum mendirikan Ciputra Grup,” kata dia. Pak Ci juga membagikan sejumlah kiat agar Ciputra dapat bersaing dengan kelompok usaha properti lain kala krisis keuangan. (sumber:Jawapos)

Bahasa sebagai Kabel Rohani

$
0
0

Bahasa merupakan sarana bagi berlangsungnya transformasi pemahaman dari “orang pertama tunggal” kepada komunikannya atau sebaliknya. Dilukiskan bahwa ketika kerja bahasa berlangsung di situ sesungguhnya terbentang jarak yang sedang diatasi di antara dua kutub atau lebih. Bahasa tampil sebagai aktualisasi dan perayaan terhadap “kebersamaan di antara aku-engkau” dalam pemahamannya yang luas dan majemuk.

Karena menyangkut pihak-pihak lain dengan kapasitas yang beraneka ragam, bahasa tentu saja dengan sendirinya memiliki lapis-lapis dengan nilai dan urgensi yang berbeda-beda pula. Mulai yang paling wadag dan permukaan, hingga yang paling subtil dan mendalam. Mulai yang paling minus nilai sampai yang paling tidak terhingga pemahamannya. Mulai yang gaduh dengan huruf dan suara hingga yang senyap dari kehadiran huruf dan suara.

Bagi siapa saja yang telah dianugerahi kesanggupan untuk mengunyah manik-manik pemahaman dari komunikannya tanpa keterlibatan jejal-jejal huruf dan suara, sebenarnya apakah peran dan arti bahasa lewat media keduanya? Secara pragmatik, fungsi kedua entitas itu kemudian menjadi gugur. Bahasa lalu merayap secepat mungkin ke sebuah halimun yang tidak tersentuh oleh ingar-bingar huruf dan suara. Hal yang demikian sering terjadi di antara para aulia, para kekasih Allah SWT.

Pernah suatu saat Syaikh Muhyiddin ibn ‘Arabi yang dikenal dengan sebutan asy-Syaikhul Akbar bertemu Syaikh Suhrawardi al-Maqtul. Sekitar satu jam keduanya sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun. Lalu keduanya berpisah tanpa juga saling bertukar huruf lewat tulisan sebagai sarana komunikasi. Setelah pertemuan itu, ditanyakan kepada ibn ‘Arabi tentang Suhrawardi, beliau menjawab, “Dari ujung rambut hingga ujung kakinya, yang kutemukan tidak lain adalah keteladanan Rasulullah saw.”

Juga ditanyakan kepada Suhrawardi tentang ibn ‘Arabi, beliau bertutur, “Yang kutemukan adalah samudra ilmu Allah SWT yang karena saking begitu dalam dan luasnya sampai tidak tampak dasar dan tepinya.”

Dua jawaban dari masing-masing sufi itu tidak hanya mengandaikan telah berlangsungnya komunikasi yang sangat padat di luar gorong-gorong bahasa yang verbal sebagaimana umumnya bahasa orang kebanyakan, tetapi juga merupakan indikasi bahwa penglihatan batin (bashirah) mereka sedemikian cepat dan cermat dalam memotret pihak-pihak lain, termasuk pula menelisik dimensi-dimensi terdalam dan paling rahasia dari kehidupan seseorang.

Dalam komunikasi yang begitu akseleratif dan berlangsung secara laten seperti di atas, hampir saja logika yang terpakai di situ adalah “kau adalah aku dan aku adalah kau.” Tentu saja tidak sepenuhnya lebur atau bersenyawa secara mutlak sehingga hilang segala batas dan lenyap segala warna. Tetapi, ketika demarkasi yang sangat dekat itu ditekuk satu jengkal lagi oleh transendensi dan kekuatan cinta, adanya “kekaburan” di antara dua entitas akan menjadi semakin nyata. Itulah yang pernah dialami sufi agung, Syaikh Husen bin Manshur al-Hallaj (wafat 922 M), ketika menghablurkan seluruh kegempalan dan keutuhan cintanya terhadap Allah SWT sebagai Mahakekasih satu-satunya: “Adnaytani minka hatta zhanantu annaka anni, Kau dekatkan diriku kepada-Mu sehingga aku menyangka bahwa sesungguhnya Kau tak lain adalah aku.”

Pengalaman spiritual yang tecermin lewat ungkapan puitik di atas menunjukkan dengan gamblang kepada kita bahwa maju dan mundurnya nilai bahasa tidaklah terutama ditentukan oleh pengaruh akal pikiran sebagaimana yang ditengarai kebanyakan tokoh dari kalangan para ahli bahasa, tetapi murni sepenuhnya ditentukan dan dikendalikan oleh aktivitas roh yang merupakan sumber utama bagi segala keluhuran dan kemuliaan manusia.

Tugas akal pikiran manusia adalah melakukan kalkulasi dan pemotretan terhadap hal-ihwal yang salah dan benar, terhadap segala perkara yang serasi dan rancu, terhadap segala yang baik dan buruk. Sementara roh, selain sanggup menjangkau kawasan pasangan-pasangan nilai yang merupakan medan ”garapan” akal pikiran di atas, juga mampu meletupkan energi paling dahsyat dan suci yang oleh orang-orang sufi biasanya disebut dengan istilah kerinduan dan cinta: sebentuk kobaran energi teramat kudus yang memiliki watak untuk selalu melesat secepat mungkin menuju “tempat” kekasih tinggal.

Ketika si pencinta secara hakiki berhadap-hadapan dengan kekasihnya, keduanya saling menjadi cermin antara yang satu dan yang lain: si pencinta menemukan potret dirinya yang hidup pada kekasihnya, sedangkan si kekasih memandang dirinya terbelah menjadi dua. Benar-benar duakah secara realitas atau hakikatnya satu? Ternyata kemenduaan itu tak lebih seperti sebuah pohon rindang dengan bayang-bayangnya sendiri ketika matahari yang mulai condong ke arah barat menyemprongkan sinarnya yang tegas sekaligus bersahaja terhadap pohon tersebut.

Dalam konteks kemajuan rohani yang seperti itu, segala dialog yang berlangsung di antara keduanya sungguh tidak lebih dari ”kepura-puraan” semata. Ciri-ciri di­alog yang dicitrakan sebagai persilangan kayu-kayu bakar di dalam tungku yang menyala sama sekali senyap di situ. Sungguh, sejatinya yang sedang berlangsung di sana adalah ”monolog” yang gemuruh, renyah, dan penuh kehangatan.

Wallahu a’lamu bish shawab. (*)

Kuswaidi Syafiie
Penyair, juga pengasuh PP Maulana Rumi, Bantul, Jogjakarta
Tulisan dimuat di JawaPos, 25/08/13

Pendaftaran Kelas Reguler Bahasa Jerman Level A1

$
0
0

 

Mayantara School  membuka Kelas Reguler Kursus Bahasa Jerman. Kelas ini dibuka khusus untuk level pembelajar Bahasa Jerman tingkat pemula. Peserta akan dibimbing untuk dapat menguasai materi sertifikasi kompetensi di level A1. Waktu pendaftaran setiap tanggal 1 – tanggal 10 (tiap bulan).

Placement test akan diberikan bagi siswa yang sudah pernah belajar bahasa Jerman sebelumnya.

Bagi 10 pendaftar pertama kelas reguler akan mendapat potongan biaya pendaftaran sebesar 50%.
Fasilitas yang didapat antara lain :

  • Ruangan kelas yang nyaman
  • Modul pembelajaran
  • Tryout internal
  • Lembar Laporan Hasil Pencapaian Kompetensi
  • Sertifikat dari lembaga

Untuk pendaftaran bisa langsung mengisi formulir pendaftaran yang bisa di download di bawah  ini dan mengirimkannya kembali ke email: utty@endonesa.net

Keterangan lebih lanjut hubungi Ratih Putri (085 649 77 97 94) atau langsung datang ke kantor sekretariat kami di
Jl. Puncak Jaya 11 Malang.

DOWNLOAD FORMULIR  PENDAFTARAN

 

Tiga Kata Ajaib dalam Bahasa Jepang

$
0
0

Entah karena sadar akan singkatnya waktu yang tersisa, atau karena beberapa kebetulan yang aku alami akhir-akhir ini, tiba-tiba saja pengen cerita tentang tiga kata magis favoritku dalam bahasa Jepang.

Adalah arena fashion show mahasiswa asing di Universitas kami yang meminta para model untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam bahasa Jepang. Salah satunya; apa kata dalam bahasa Jepang kesukaan anda?

Pertanyaan ini dilontarkan kepada tiga mahasiswa asing dari negara yang berbeda, dan ketiganya mempunyai jawaban yang berbeda pula. Satu di antaranya menjawab dengan kata “ganbatte” jp-ganbatte. “Ganbatte”, secara harfiah dalam bahasa Indonesia “mungkin” bermakna “berjuanglah”. Kata ini sering dijumpai disampaikan oleh teman, rekan, kenalan atau bahkan siapapun yang dirasa butuh support semangat.

Contoh kecil, ketika seseorang tahu bahwa temannya ada tes atau ujian pada hari itu, maka ketika bertemu, kepada teman yang akan ujian akan dilontarkan kata “ganbatte”. Bukan hanya lisan, tapi juga lumrah disampaikan dalam tulisan di surat, komentar facebook, email, sms dsb. Bukan pula ketika akan menghadapi saat-saat genting semacam ujian ataupun tes, tapi juga pesan berjuang dalam belajar dan bekerja. Maka tak jarang, mereka akan mengucapkan “Selamat berjuang (semangatlah) dalam belajar maupun bekerja”.

Saling menyemangati, adalah nuansa yang menjiwa, bahkan aneh jika tidak dilakukan satu sama lain di Jepang.

Sejenak membayangkan. Apabila benar terjemahan ganbatte adalah berjuanglah atau semangatlah dalam bahasa Indonesia, lalu karena kita menyadari betapa agung nilai yang diusungnya, dan kita mulai melakukannya dalam keseharian kita, pertanyaanya; Akankah terasa alay?

Jika benar rumus yang mengatakan : Sebuah kata yang digunakan dalam komunitas tertentu menunjukkan masih adanya gejala sosial dan budaya dari makna yang diusung kata tersebut, maka, pertanyaan selanjutnya: Kita punya juga kan budaya saling menyemangati meski kita tidak punya ungkapan yang se-memasyarakat dan se-membumi “ganbatte”?

Lebih dalam lagi, apabila kita dengarkan jawaban dari org yang disemangati, yaitu : “Haik, arigatou gozaimasu, ganbarimasu jp-ganbarimasu” – “Saya mengerti, terimakasih, saya akan berjuang”.

Lihat, diresponlah support itu dengan janji bahwa hutang budiku akan semangat yang kau berikan akan kubayar dengan perjuanganku.

Saya sendiri, sudah mengalami, dan menjadi korban amukan api semangat ganbatte yang dilontarkan teman-teman. #jadiingatbentengTakeshi

Jawaban dari pertanyaan apa kata bahasa Jepang favorit anda? Yang kedua adalah “daijyoubu jp-daijyoubu“.

Kebetulan yang menjawab adalah mahasiswa cantik asal Mongolia dengan paras cantik tegas semi Rusia.

Ditanya lebih lanjut mengapa? Dia menjawab, karena itulah kata dalam bahasa Jepang yang pertama kali dia dengar ketika sampai di Jepang, dengan kelelahan dan kekhawatiran .

Masuk akal kalau si gadis jadi suka sama kata “Daijyoubu”.
“Daijyoubu”, yang aku artikan “tidak apa2, jangan khawatir”, juga adalah salah satu kata favoritku.

Aku mendengarnya pertama kali di drama-drama Jepang. Kata itu, apabila diucapkan dengan “tone and pitch” yang itu tu, yang itu…ah coba sekali kali dengarkan saja sendiri…
Maka, Duh Gusti.., bagaikan keresahan ini sudah menemukan tempat berpangkunya. Kekhawatiran ini telah sampai pada rengkuhan pengertiannya. Jyyah!

“Daijyoubu” akan sering diucapkan seseorang, untuk menenteramkan orang lain yang sedang merasa bersalah, cemas, khawatir, takut, ngeri dan perasaan terancam yang lain…

Bayangkan, ketika presentasi kita tanpa sengaja menjatuhkan remote projector dan menghancurkannya meski tidak berkeping-keping.
Dalam kondisi nervous tampil di depan umum, ditambah rasa bersalah karena kerusakan yang diakibatkan, lalu kita mendengar sang Professor dan teman-teman Jepang lain berkali-kali dengan lembut menenangkan ” Daijyobu, daijyobu desu yo jp-daijyobu-yo“. Fyuh.., tenang.. #ceritafiktifbelaka

Daijyobu? (dengan nada bertanya), lebih kurang sama dengan “Are you alright?” Atau dalam bahasa kita “kamu gak papa?” Diajukan oleh seseorang ketika melihat orang lain berair muka “keruh” tanda sedang ada masalah, atau ketika org lain tersebut mengalami gejala gangguan kesehatan, semisal bersin atau batuk.

Yang tentu saja, kalau benar-benar kondisi baik-baik saja (kadang juga sedang tidak baik, tapi juga tidak ingin membuat orang lain khawatir), akan dijawab dengan “daijyobu desu” – “I am fine, I’m alright”.

Terkadang, ketika melihat orang lain dengan bawaan yang berat atau kesulitan dalam satu hal, maka untuk menawarkan bantuan acap kali “daijyobu?” juga dilontarkan. Maknanya, “Apakah kamu baik-baik saja? Butuh bantuan?”

To grab the essence, kata “daijyobu”, atau “daijyobu?” Adalah kata sederhana yang mewakili perhatian, simpati ataupun empati yang mendalam.

Saya tdk bisa menjelaskan lebih banyak. Saya berharap bisa mengucapkan banyak kata “daijyoubu” dan “daijyobu?” untuk org lain, untuk berbagi sensasi kelegaan yang ditimbulkannya.

Kosakata Jepang favorit ketiga…adalah, Otsukaresamadeshita! jp-otsukare. Bisa disingkat dengan Otsukaresama!,Otsukare! , atau bahkan Otsu! saja (berdasarkan materi speech teman). Dan, ini merupakan jawaban dari mahasiswi cantik asal Thailand.

Aku sendiri mengenal kata ini pertama kali dari senpai jp-senpai(senior)yang sudah dua tahun belajar di Jepang. Saat itu, belum terkesan. Aku pikir, kata itu hanya basa-basi tak berarti dan sekedar tradisi. Tapi dengan berjalannya waktu, kata ini semakin menarik hati. Salah satunya dikarenakan, seringnya mendapatkan ucapan otsukaresamadeshita dari teman-teman maupun sensei, di setiap penghujung kelas, acara, trip ataupun aneka ragam kegiatan lainnya.

Setiap kali menerima ucapan itu, kesan yang tertangkap adalah apresiasi terhadap kerja dan usaha kita, sekaligus tersirat terimakasih yang mendalam.

Jadi, dalam satu kata “otsukaresamadeshita”, paling tidak ada tiga pesan yang disampaikan; ucapan selamat telah menunaikan tugas apapun bentuknya, apresiasi kerja dan jerih payah, sekaligus ungkapan terimakasih atas usaha yang dilakukan.

Bayangkan. Di parkiran sepeda menjelang pulang, dua murid yang berpapasan jalan saling mengucapkan otsukaresamadeshita. Pegawai atau mahasiswa yang akan meninggalkan ruangan untuk pulang terlebih dulu, mereka mengucapkan otsukaresamadeshita untuk rekan yang masih di tempat. Di akhir kesibukan membereskan ruangan seusai acara, panitia dan peserta saling mengucapkan otsukaresamadeshita. Sebelum mengakhiri pertemuan, sensei akan mengucapkan otsukaresamadeshita kepada murid-muridnya yang akan dijawab dengan arigatougozaimashita. Bahkan dalam kesempatan tertentu,bila mereka tidak bisa menyampaikannya secara langsung, tak segan mereka akan sampaikan via pesan singkat atau email.

Betapa budaya penghargaan masih dijunjung tinggi disini.

Dan selang beberapa hari yang lalu, ketika satu teman Jepang bertanya, apa kata dalam bahasa Inggris yang bisa mengganti kata otsukaresamadeshita, aku butuh beberapa menit untuk menjawab…

Sebelum akhirnya teman Jepang yang lain yang saat itu mencuri dengar pembicaraan kami memberi pendapat bahwa meskipun dalam bahasa Inggris, otsukaresamadeshita bisa diartikan dengan thank you for today, much appreciated, atau, many thanks, tidak ada kata dalam bahasa Inggris yang bisa mewakili dengan baik kata otsukaresamadeshita (kebetulan teman tersebut juga pernah tinggal di Amerika dan berkemampuan bahasa Inggris di atas rata-rata). Aku urun manggut-manggut dan mengamini penjelasannya…

So, teman2 yang telah tunai tugas hari ini, aku ucapkan
Otsukaresamadeshita!

kurnia-atiullah

Kurnia Ati’ullah
Saat ini sedang belajar di Naruto University of Education – Tokushima.

Pendaftaran Kelas Reguler Bahasa Jerman Level A1+Konversation (+Native)

$
0
0

Mayantara School  membuka Kelas Reguler Kursus Bahasa Jerman untuk Paket A1+Native. Kelas ini dibuka khusus untuk level pembelajar Bahasa Jerman tingkat pemula . Peserta akan dibimbing untuk dapat menguasai materi sertifikasi kompetensi di level A1 plus mendapat tambahan materi conversation with native speaker.

Waktu pendaftaran mulai tanggal 1 – tanggal 15 Januari 2014.

Placement test akan diberikan bagi siswa yang sudah pernah belajar bahasa Jerman sebelumnya.

Bagi 10 pendaftar pertama kelas reguler akan mendapat potongan biaya pendaftaran sebesar 50%.
Fasilitas yang didapat antara lain :

  • Ruangan kelas yang nyaman
  • Modul pembelajaran
  • Tryout internal
  • Lembar Laporan Hasil Pencapaian Kompetensi
  • Sertifikat dari lembaga

Keterangan lebih lanjut hubungi Ratih Putri (085 649 77 97 94) atau langsung datang ke kantor sekretariat kami di Jl. Puncak Jaya 11 Malang.


Translating from Indonesian into English: Problems and Challenges

$
0
0

Oleh: Ferry “Fei” Antony

Abstract

Translating from Indonesian into English is not an easy task as Indonesian is used more loosely than English is to express ideas. By loosely it means that the use of Indonesian often violates the rules outlined by Tatabahasa Indonesia Baku. This even occurs in its written form, where the language should actually be formal following all the rules. As a result, an Indonesian text must oftentimes be “edited” first before being translated into English. This paper reveals problems in translating from Indonesian into English with the focus being translating reports and documents, formulates problems in translating from Indonesian into English in general, and proposes some solution to overcome theproblems.

Introduction: On Translating

Of all the many definitions on translating, it can safely be defined as substituting a text in a source language (SL) with that in a target one (TL), the result showing similar semantic and pragmatic aspects. This causes the readers of the TL text to understand the text the same way the readers of the SL text do. And in order for the translator to be able to do this, he has to master the TL into which the SL text is to be translated, in addition to mastering the SL, the content to be translated, and the techniques for translating (Directorate General of Higher Education as quoted by Adjat Sakri 1984 cited in Musthafa 1990; adapted).

In reality, the process of substituting the text—that is, translating it—is faced with problems. This stems from the fact that languages are used differently by their own speakers to express themselves in oral and written form. There is something cultural about the speakers using their own language differently. Not only does this mean that speakers express proverbs, idioms, clichés, nominal or adjectival phrases, and the onomatopoeia of animal sounds differently in their language (Leonardi 2000), but this also suggests that speakers use their language differently with regards to such grammatical and discoursial aspects as word choice, word collocation, sentence patterns, discoursial patterns, and discoursial rules.

A good and professional translator will take all those aspects above into consideration when translating a SL text into a TL one. He will make sure that his translation conforms to the rules of the target language understanding that his translation will now be read by the TL readers, while at the same time trying to be faithful to the original text not changing anything but the wording and form of the text.

Using the approach of examining the phenomena found in translation to discover regularities that can be stated to then form the science of translation (Gutt …..; adapted), in this paper I discuss the issues on translating from Indonesian into English following this order: use of Indonesian, translating from Indonesian into English, transferability of problems discussed to other types of text, solution, and conclusion.

Indonesian: How It Is Used by Its Users

From my experience (both in teaching and translating), it is obvious that Indonesian is used loosely by its users both in oral and written form. This means that the use of the language in practice deviates from what is prescribed by the Tatabahasa Indonesia Baku. This violation also occurs in written form, where the language used must actually be formal. This deviation applies in word choice, word collocation, sentence patterns, and discoursial patterns. Even if the use follows the rules, there are still other problems, one of which is ambiguity as asserted by Gunarwan (2001). A good example given by him is when they say “anak perempuan presiden yang kaya itu.” When English-translated, it can be either “the rich daughter of the president” or “the daughter of the rich president.” Another example he gives is Indonesian “tembus cahaya.” English-translated, it can be either “translucent” or “transparent.”

As for discoursial patterns, there are many cases in which Indonesian users trying to express themselves in written form follow what is described by Kaplan (1966) in Brown (2001: 337) as circular pattern, meaning that that Indonesian users do not get straight to the point of what they are trying to say, but instead building too much on what is around  the topic before really hitting it.

Although Kaplan’s theory has ever since been much debated and criticized, “there was and still is a ring of truth to Kaplan’s claims” (Brown 2001: 338). This is especially so for one who has oftentimes dealt with Indonesian users’ writing. I find that to be true too.

Translating from Indonesian into English

Problems in Translating from Indonesian into English

The problems I encounter in translating reports or documents resemble those I found in Advanced 4 students’ essays (Antoni and Radiana 2001). One hypothesis that can be raised out of this is that students translate even when they speak and write. This means that they write in Indonesian first what they want to say in English. Then they translate it. This of course produces problems in their translation as their Indonesian is itself still bad. An example is “Between family, legal, paramedics, or society and the victims can make cooperation for each other” (attachment p. 2), which is literal translation from “Di antara keluarga, hukum, paramedis, atau masyarakat dan korban dapat membuat kerjasama satu sama lain.”  One can easily see how badly the sentence is constructed in Indonesian in the first place, this resulting in the translation being also wrong. This practice of writing on the part of Indonesian users—that is, writing in Indonesian first and then translating it—is also confirmed by Alwasilah (1993: 60) when investigating Indonesian students and their academic life in the US academic setting.

With Bahtera Foundation’s (2003) report on non-formal education being sampled, the problems I encounter can be classified into problems at the sentential level, and those at discousial level. Discussed one by one, they are as follows:

1. Problems at the sentential level

At this level, problems are usually concerned with loose sentence construction, meaning that it does not follow the rules prescribed by Tatabahasa Indonesia Baku with regards to use of predicate, conjunctions, etc.

e.g.

Negara yang telah meratifikasi KHA, maka Negara tersebut terikat, baik secara Yuridis maupun politis (p. 1).

(unclear predicate, inappropriate use of conjunction)

Dampak lain masa depan anak tidak menentu serta menjadi “Unskill Worker” sehingga mereka akan menjadi beban negara di masa mendatang (p. 2).

(run-on sentence, ineffective sentence)

Hal itu mengakibatkan kurangnya fasilitas sekolah yang memadai, rendahnya kualitas guru, sehingga pelatihan teknis administrasi dan profesionalisme di bidang pendidikan kurang terjamin (p. 3).

(run-on sentence, ineffective sentence, no logic)

Perhatian yang kurang dari orangtua dan ketidakharmonisan komunikasi yang terjadi dalam keluarga telah mengakibatkan anak merasa dikucilkan dalam interaksi sosial keluarga, sebagai akibat anak menjadi terlempar ke jalan (p. 7).

(run-on sentence, ineffective sentence)

membuat batas usia minimum atas tanggung jawab pelaku kejahatan (p. 8).

(no logic)

Child to child approach adalah sebuah model pendekatan antar anak yang berbeda usia (cross-age peer tutoring) pola ini adalah alternative pengajaran yang mengandalkan peserta didik yang lebih tua mengajar peserta didik yang lebih muda, dan banyak memberi kesempatan pada peserta didik untuk berlatih (p. 9).

(run-on sentence, ineffective sentence)

2. Problems at the discoursial level

At this level, problems are associated with the way sentences are loosely connected in the text, this producing no apparent coherence and cohesion. There is little attempt on the part of the writer to make use of transitional markers and other cohesive devices to connect ideas together. It may also happen that some ideas stand irrelevantly among other ideas in the text.

e.g.

Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keppres No. 36/1990. Negara yang telah meratifikasi KHA, maka Negara tersebut terikat, baik secara Yuridis maupun politis (p. 1).

(missing transitional marker, ideas loosely connected)

Anak yang putus sekolah adalah anak-anak yang kehilangan hak pendidikannya dan tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan dirinya secara maksimal. Kondisi seperti ini adalah kondisi yang sangat menyedihkan. Dampak lain masa depan anak tidak menentu serta menjadi “Unskill Worker” sehingga mereka akan menjadi beban negara di masa datang (p. 2).

(missing transitional marker, inappropriate use of ‘lain’)

Munculnya anak yang hidup di jalanan adalah salah satu akses ketidakberdayaan Masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dalam keluarga khususnya kebutuhan yang diperlukan oleh anak. Perhatian yang kurang dari orangtua dan ketidakharmonisan komunikasi yang terjadi dalam keluarga telah mengakibatkan anak merasa dikucilkan dalam interaksi sosial keluarga, sebagai akibat anak menjadi terlempar ke jalan (p. 7).

(lack of focus, ideas loosely connected)

Kondisi kehidupan yang sedemikian keras tidak menutup kemungkinan munculnya tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh orang-orang dewasa yang notabene sebagai orang yang harusnya melindungi. Perlakuan salah yang dialami anak-anak di jalan dapat berupa kekerasan fisik, mental, eksploitasi ekonomi, kekerasan seksual (pemerkosaan, sodomi dan pornografi). Masalah lain yang Dihadapi anak-anak di jalanan adalah beresiko tinggi terhadap berbagai masalah kesehatan dan korban penyalahgunaan obat-obatan terlarang (p. 7).

(ideas loosely connected, missing cohesive device)

Challenges in Translating from Indonesian into English

A translator, having mastery of both source and target language, is challenged to be able to find flaws in the SL text, edit them, and translate the text into the TL. In the words of Leonardi (2000), the translator—given the possible above flaws to occur—must “recode the ST message first then s/he has to transmit it into an equivalent message for the TC [TL].” This is done both at the sentential and discoursial level.

Next, when rendered to the target text, oftentimes “…the form of the original text is changed; but as long as the change follows the rules of back transformation [above] in the source language, of contextual consistency in the transfer, and of transformation in the receptor language, the message is preserved and the translation is faithful” (Nida and Taber 1982: 200 in Leonardi 2000).

The extent to which both above can be done is the translator’s professionalism and intention to make the SL message remains clear in the TL without any bias in meaning except for the different form and wording devised.

In the case of my translating Bahtera Foundation’s (2003) report some example lines of which are given above, what I do is I recode the lines the following way, after which I translate them into English.

1. At the sentential level

Negara yang telah meratifikasi KHA terikat secara yuridis dan politis untuk mengimplementasikan semua butir KHA tentang hak-hak anak.

Any state which has ratified CRC is bound legally and politically to implementing all items stated in the CRC regarding children’s rights.

Mereka mungkin menjadi tenaga kerja tidak terampil, yang lebih menjadi beban daripada asset bagi negara.

They may end up being unskilled workers, who may turn out to be much more of a burden than asset to the country.

Ini mengakibatkan kurangnya fasilitas sekolah yang memadai, dan rendahnya kualitas guru. Kondisi ini juga menyebabkan ketidakmungkinan dilaksanakannya pelatihan teknis, administrasi, dan profesionalisme di bidang pendidikan secara memadai.

This results in the shortage of proper school facilities, and low teacher quality. This condition also makes it impossible for the technical, administrative, and professional training to be carried out properly.

 Kurangnya perhatian kepada anak-anak dan harmoni dalam keluarga menyebabkan anak-anak merasa terisolasi, dan ini membuat mereka berpaling untuk hidup di jalan. Tentu masih ada banyak alasan lainnya yang membuat anak-anak memilih hidup di jalan.

Lack of attention on the part of children and harmony in the family cause the children to feel isolated, all resulting in the children’s dumping themselves to the street. There are many other reasons, of course, that may contribute to children’s turning to the street.

menentukan batas usia minimum di mana anak-anak mulai bertanggung jawab penuh atas semua tindakannya.

set limit of minimum age at which children assume full responsibility for their actions.

Child-to-child approach adalah metoda tutorial beda usia di mana anak-anak yang lebih tua ditugaskan mengajar anak-anak yang lebih muda. Metoda ini terbukti efektif karena memungkinkan lebih banyak anak dapat belajar.

Child-to-child approach is a cross-age peer tutoring method by which elder children are assigned to teach younger ones. This method proves to be effective in that it allows for more children to be able to learn.

2. At the discoursial level

Indonesia telah meratifikasi KHA melalui Keppres No. 36/1990. Dan negara yang telah meratifikasi KHA terikat secara yuridis dan politis untuk mengimplementasikan semua butir KHA tentang hak-hak anak.

Indonesia has ratified CRC through Presidential Decree No. 36/1990. And any state which has ratified CRC is bound legally and politically to implementing all items stated in the CRC regarding children’s rights.

Anak-anak putus sekolah adalah anak-anak yang kehilangan hak atas pendidikannya dan kesempatannya untuk mengembangkan potensi dirinya secara maksimal. Tentu ini adalah kondisi yang menyedihkan, yang dapat berakibat kepada masa depan mereka yang tidak pasti. Mereka mungkin menjadi tenaga kerja tidak terampil, yang lebih menjadi beban daripada asset bagi negara.

School drop-outs are children deprived of their right to education and chance to fully develop their potential to its maximum extent. Indeed, this is a sad condition, which may result in the children’s uncertain future. They may end up being unskilled workers, who may turn out to be much more of a burden than asset to the country.

Munculnya anak-anak yang hidup di jalanan menunjukkan ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak-anak. Kurangnya perhatian kepada anak-anak dan harmoni dalam keluarga menyebabkan anak-anak merasa terisolasi, dan ini membuat mereka berpaling untuk hidup di jalan. Tentu masih ada banyak alasan lainnya yang membuat anak-anak memilih hidup di jalan.

The existence of children living in the street is due to the inability and incapacity of families to fulfill their children’s needs. Lack of attention on the part of children and harmony in the family cause the children to feel isolated, all resulting in the children’s dumping themselves to the street. There are many other reasons, of course, that may contribute to children’s turning to the street.

Kondisi kehidupan seperti itu memungkinkan terjadinya kekerasan terhadap anak. Ini bahkan dapat dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya melindungi mereka. Kekerasan yang mungkin terjadi kepada anak-anak di jalan dapat berupa kekerasan fisik dan psikis, eksploitasi, dan penganiayaan. Resiko lain yang mungkin dihadapi oleh anak-anak jalanan adalah masalah kesehatan dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

That kind of life makes it possible for violence against children to take place. This may even be done by the very adults who are actually supposed to protect them. Violence that street children may experience ranges from physical and psychological violence, exploitation, and abuse. Other risks faced by street children are health problem and drug abuse.

Transferability of Problems to Other Types of Text

It can be argued that the problems I encounter in translating Bahtera Foundation’s (2003) report into English also prevail in other types of text. The difference will lie only on stylistics and registers or terms used. This means that the translator is still exposed to the same challenges.

Solution

Some solution that I can propose to overcome the problems I exposed earlier at this point are as follows:

  • know Tatabahasa Indonesia Baku
  • know English rules and English types of text
  • stick to translating texts you are best at translating
  • understand the whole text you are to translate
  • know what you should “recode” before translating the text
  • translate the text
  • proofread your translation to make sure that it reads fluently
  • try translating other types of text to add to your repertoire of content knowledge
  • revise your own theory of translation based on your practice and experience

(Beaugrande 1978 in Apte 2002)

Conclusion

Translating from Indonesian into English poses some problems. And this makes up the challenge that a translator has to take. Through constant practice and experience he will realize that translating is a creative endeavor (Weaver in Apte 2002), with him building his own theory on how to best translate. This is the reward of translating in addition to the financial gain that follows.

 

 

References:

  • Alwasilah, A. A. (1993). Dari Cicalengka sampai Chicago: Bunga Rampai Pendidikan        Bahasa. Bandung: Angkasa.
  • Antoni, F., & Radiana, I. (2001, September). Common Mistakes Students Make and What It May Suggest We Should Do to Fix the Problem: An Account of Advanced 4 Students’ Essay-Writing Workdrafts. Paper presented at LIA International Seminar 2001, Jakarta.
  • Apte, M. (2002). Translating Poetry: Interface with Emily Dickinson’s Poems. Retrieved April 10, 2003 from http://www.anukriti.net/TT.
  • Bahtera Foundation. (2003, March). Pendidikan Non-Formal bagi Anak Kategori CNSP. Bandung: Hadi Utomo.
  • Brown, H. D. (2001). Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd edition). NY: Addison Wesley Longman, Inc.
  • Gunarwan, A. (2000, October). The Minimalist and Maximalist Approaches in the
  • TEFLIN: Towards the Empowerment of the General Indonesian Learners of English. Paper presented at TEFLIN Conference 2000, Jakarta.
  • Gutt, E-A. (…..). A Theoretical Account of Translation without a Translation Theory. Retrieved October 12, 2002 from http://cogprints.ecs.soton.ac.uk/archive/00002597/01/THEORACC.htm.
  • Leonardi, V. (2000, October). Equivalence in Translation: Between Myth and Reality. Retrieved July 22, 2003 from http://accurapid.com/journal/14equiv.htm.
  • Musthafa, B. (1990, April 18). Kualifikasi dan Penyiapan Tenaga Penerjemah. Gala, p…

Resume:

Ferry Antoni, S.Pd. Graduated from IKIP Bandung in 1997. Presently works as an academic supervisor at LBPP-LIA Bandung, Jalan Martadinata 20 A, Bandung  40114, Jawa Barat, telp. (022) 422-1117 ext. 114, e-mail address: ferryaar[at]yah00.com, http://www.geocities.com/ferryaar/intro.html. Is now taking his graduate program at UPI. Has presented some papers at LIA-held seminars. Is to present papers at TEFLIN Conference in Bandung in October and—hopefully—Conference on Teaching English to Young Learners in Bandung in February.

Survei Lembaga Pendidikan Bahasa Jepang di Indonesia tahun 2012

$
0
0

Hasil perhitungan cepat (data sementara) dari angket lembaga pendidikan bahasa Jepang di luar negeri yang dilakukan oleh The Japan Foundation pada tahun 2012 sudah keluar. Berikut ini adalah jumlah lembaga, pengajar dan pemelajar bahasa Jepang di seluruh dunia berdasarkan hasil dari survei tersebut:

SURVEI TAHUN 2012 SURVEI TAHUN 2009
LEMBAGA 16.045 14.925
PENGAJAR 63.771 49.803
PEMELAJAR 3.984.538 3.651.232

Pada saat ini The Japan Foundation sedang melakukan pengecekan terhadap hasil survei yang dilaksanakan pada tahun 2012 lalu, dan hasil yang sudah pasti baru akan keluar sekitar bulan Oktober 2013. Namun demikian, situasi terkini dan perubahan pendidikan bahasa Jepang di Indonesia berdasarkan “Pengumuman Hasil Perhitungan cepat” tersebut di atas, dapat dilihat pada bahan lampiran “Statistik Survei Lembaga Pendidikan Bahasa Jepang Tahun 2012 (hasil perhitungan cepat)”, dan di bawah ini akan dibahas beberapa hal yang perlu diperhatikan.

1. Perkembangan secara keseluruhan Jumlah pemelajar bahasa Jepang di Indonesia

Berdasarkan survei tahun 2012 tercatat sebanyak 872,406 orang, meningkat 21.8% dibandingkan dengan hasil survei pada tahun 2009 lalu, yaitu 716,353 orang. Jika melihat jangka yang lebih panjang, terjadi peningkatan sebanyak 16 kali lipat dibandingkan survei pada tahun 1998 yaitu 54,016 orang , dan 10 kali lipat dibandingkan survei pada tahun 2003 yaitu 85,221 orang.

Menurut survei pada tahun 2012, Indonesia menduduki peringkat kedua dari seluruh negara dalam jumlah orang yang mempelajari bahasa Jepang terbanyak di dunia (sebelumnya peringkat ketiga). Sedangkan, jumlah pemelajar bahasa Jepang untuk negara yang tidak menggunakan kanji, sama seperti pada survei sebelumnya yaitu Indonesia menduduki peringkat pertama di dunia. Jumlah pembelajar bahasa Jepang di Indonesia saat ini mencapai 21% dari jumlah total pelajar bahasa Jepang di dunia, dan 78% dari jumlah total pemelajar di Asia Tenggara.

Apabila dibandingkan dengan survei sebelumnya (tahun 2009), di Indonesia menunjukkan peningkatan yang tinggi sebesar 21% terhadap peningkatan jumlah pemelajar bahasa Jepang di dunia sebesar 9,1%. Negara-negara Asia Tenggara seperti Pilipina (45%), Malaysia (44%), Thailand (64%), dan Kamboja (37,5%) menunjukkan peningkatan yang tinggi juga, sehingga negara-negara Asia Tenggara yang berpusat di Indonesia berpotensi untuk menjadi pendorong peningkatan jumlah pemelajar bahasa Jepang di dunia.

2. Perkembangan pemelajar berdasarkan tingkat pendidikan

Jika dilihat dari tingkat pendidikan, perkemban­gan j Jinlah pemelajar bahasa Jepang adalah sebagai berikut: Pendidikan Dasar 5,750 orang (meningkat 0.6%), Pendidikan Menengah 835,938 orang (meningkat 95.8%), Pendidikan Atas 22,076 orang (2.5%), Pendidikan Non Formal dan Informal 8,642 orang (menurun 0.9%). Pada hasil survei tahun 2012, jumlah pemelajar bahasa Jepang pada tingkat Pendidi­kan Menengah di Indonesia menduduki peringkat pertama, yaitu mencapai 40% dari jumlah pemelajar pendidikan menengah di seluruh dunia, dan 87% dari total pemelajar pendidikan menengah di Asia Tenggara.

3. Perkembangan jumlah lembaga dan pengajar

Jumlah lembaga pendidikan bahasa Jepang meningkat 18% dari 1,988 lembaga (2009) menjadi 2,346 lembaga (2012), sedangkan jumlah pengajar menambah 10.9% dari 4,089 orang (2009) menjadi 4,538 orang (2012).

4. Perkembangan di daerah

Jika melihat dari hasil survei tentang jumlah pemelajar bahasa Jepang berdasarkan provinsi dari seluruh Indonesia, lembaga pendidikan dan pemelajar bahasa Jepang ada di setiap provinsi kecuali Provinsi Maluku dan Papua Barat, sehingga dapat diketahui bahasa Jepang dipelajari hampir di seluruh wilayah di Indonesia Apabila dibuat peringkat provinsi yang memiliki jumlah pemelajar bahasa Jepang terbanyak di Indonesia, berikut urutannya : Urutan ke-1. Provinsi Jawa Barat: 225.566 orang, Urutan ke-2, Provinsi Jawa Timur: 138.431 orang Urutan ke-3. Provinsi Jawa Tengah : 80.416 orang Urutan ke-4. Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta : 79.934 orang Urutan ke-5, Provinsi Bali: 71.911 orang. Pemelajar Bahasa Jepang di Pulau Jawa dan Bali mencapai 74.3% dari total pemelajar bahasa Jepang di Indonesia.

Di luar Pulau Jawa dan Bali, jumlah pemelajar bahasa Jepang pada urutan selanjutnya adalah sebagai berikut:

Urutan ke-6, Provinsi Sumatera Barat: 59,451 orang. Urutan ke-8, Provinsi Sumatera Utara : 40,066 orang. Urutan ke-9, Provinsi Sulawesi Utara : 22,055 orang. Di Provinsi Papua dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD) yang terletak jauh dari Ibukota Jakarta tercatat juga 7.149 orang (Papua) dan 6,129 orang (NAD) yang mempelajari bahasa Jepang terutama pada tingkat Pendidikan Menengah.

5. Ciri-ciri Motivasi Belajar Bahasa Jepang

Mengenai motivasi belajar dari pembelajar, banyak lembaga pendidikan yang menyatakan motivasi belajar karena “ingin berkomunikasi dalam bahasa Jepang”(85.2%), “tertarik dengan bahasanya”(74.1%), dan “ingin berinteraksi dengan orang Jepang melalui bahasa Jepang” merupakan antusiasme yang kuat dari pembelajar bahasa Jepang. Selain itu, banyak juga yang menjawab karena alasan “pekerjaan di masa depan” (65.2%), “sejarah-sastra” (64.7%), dan “anime-manga” (56.1%). Di kalangan pemuda yang merupakan bagian besar dari pemelajar bahasa Jepang di Indonesia, “pekerjaan” dan “budaya” merupakan motivasi terkuat dalam mempelajari bahasa Jepang.

6. Ciri-ciri Permasalahan dalam Pengajaran Bahasa Jepang

Walaupun 71.6% lembaga menyatakan “fasilitas dan peralatan yang kurang”, namun permasalahan tersebut cenderung berkurang. Di lain pihak, banyak juga lembaga yang menyatakan “kekuran­gan informasi bahan ajar dan metode pengajaran” (61.4%), “kekurangan bahan ajar” (41.0%). Prosetasi lembaga koresponden yang menjawab kedua hal tersebut mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil survei sebelumnya, dan seiring dengan peningkatan jumlah pembelajar bahasa Jepang yang pesat, dapat dilihat bahwa masalah mengenai bahan mengajar dan metode mengajar menjadi masalah yang serius.

Diambil dari majalah Nuansa edisi Oktober-November-Desember 2013 terbitan dari The Japan Foundation Jakarta

CAT TOOLS: Sekilas Tinjauan

$
0
0

Sugeng Hariyanto
Politeknik Negeri Malang
(Translanguage Society, Malang)

Dengan adanya perkembangan di bidang teknologi komputer, peran penerjemah pun berubah. Naskah sumber tidak hanya dikirim kepada para penerjemah melalui jasa pos, tetapi juga dikirim melalui surat elektronik. Dari sini ada naskah kertas dan naskah file elektronik. Hal ini mengakibatkan berubahnya cara pandang penerjemah terhadap teks. Ada beberapa jenis teks yang muncul, misalnya html, hipertext, dll. Kemunculan jenis teks baru dan cara pengiriman baru ini menuntut penerjemah tidak hanya berperan sebagai orang yang mencarikan padanan sebuah naskah di dalam bahasa sasaran saja, tetapi juga menuntut penerjemah untuk mampu mengoperasikan komputer dan menjaga tata letak, jenis teks, atau bahkan harus mampu mengubah jenis teks. Kualifikasi penerjemah tidak hanya dalam bidang linguistik, tetapi juga dalam bidang applikasi komputer yang terkait karena ada semakin banyak pekerjaan yang harus dilakukan dengan komputer.

Ada kebutuhan tentu ada sarana pemenuhannya. Pihak perusahaan perangkat lunak menangkap kecenderungan ini, dan mereka berusaha menciptakan berbagai perangkat lunak komputer yang dapat membantu para penerjemah dan juga agen penerjemahan. Perangkat lunak inlilah yang sering disebut CAT Tools (Computer Assisted Translation Tools) atau Piranti Penerjemahan Berbantuan Komputer (PPBK).

Secara garis besar, perangkat lunak ini dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan fungsinya: pengelolaan istilah (term management), penerjemahan mesin (machine translation), dan memori penerjemahan (translation memory). Tulisan ini akan meninjau secara singkat ketiga golongan ini. Dan karena Penerjemahan Mesin sudah dibahas di dalam artikel, lain, maka pembahasannya hanya singkat saja.

Perangkat Pengelola Istilah

Bahan utama di setiap tulisan adalah kata, dan kata-kata yang mempunyai pengertian khusus disebut istilah. Kadang-kadang kata tertentu mempunyai pengertian berbeda di bidang yang berbeda. Di dalam penerjemahan, kesulitan tambahannya adalah kita beum mengenal kata atau istilah tertentu. Oleh karena itu, penerjemah perlu mencari pengertian dan padanan kata-kata “baru” ini. Tentu saja, usaha ini cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran. Akan sayang apabila hasil usaha keras ini (pengertian atau padanan kata baru) terlupakan setelah masalah selesai. Penerjemah harus mencari padanan yang sama apabila menemui kata yang sama. Untuk itu, kata-kata ini harus dikelola sehingga dapat dipanggil sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Perangkat lunak untuk mengelola inilah yang digolongkan menjadi perangkat pengelola istilah.

Ada berbagai perangkat lunak yang dapat membantu. Yang paling sederhana adalah perangkat lunak yang berupa kamus atau glosari. Perangkat lunak ini adalah kumpulan kata, sehingga kita tidak dapat menambah atau mengubah daftar katanya. Untuk penerjemah Bahasa Inggris-Indonesia, Linguist adalah contohnya. Isinya mirip sekali dengan kamus Hassan Shadily dan M. Echols. Kelemahannya adalah, sekali lagi, datar kata tidak dapat diubah.

Contoh kedua adalah perangkat lunak  (mesinnya) buatan orang Indonesia sendiri. Program ini dinamakan KAMUS. Sekarang pengembangannya sampai pada versi v2.2.1, dikembangkan oleh Hendy Irawan, dan dapat didownload gratis dari alamat berikut:

Program file (234,341 bytes)
http://ceefour.hypermart.net/files/kamus.zip (International)
http://ceefour.indoglobal.com/files/kamus.zip (Indonesia)

Dictionary file (240,848 bytes)
http://ceefour.hypermart.net/files/kamuscsv.zip (International)

http://ceefour.indoglobal.com/files/kamuscsv.zip

Dictionary file di atas berisi kata-kata umum. Kalau penerjemah mau mengembangkan glosari sendiri, penerjemah dapat melakukannya dengan mudah. (Di sini disertakan contoh glosari tentang keuangan dan perbangkan yang dikembangkan oleh penulis).

Cara penggunaan “Kamus” adalah seperti penggunaan program lainnya. Aktifkan “Kamus”, cari istilah tertentu; dan kalau tidak ada, penerjemah dapat menambah sendiri. Demikian dan seterusnya sehingga glosari penerjemah selalu bertambah dan semakin kaya.

Perangkat lunak lain, yang lebih praktis pengoperasiannya dan glosarinya dapat didownload dari situs internet atau dikembangkan sendiri adalah Babylon. Sumbernya adalah www.babylon.com. Perangkat lunak ini lebih menghemat waktu apabila dibandingkan dengan “Kamus” di atas.

Ada perangkat lunak lain yang mirip “Kamus”, tetapi langsung dapat mencari kata tersebut dan mengganti kata tersebut di dalam dokumen elektronik. Perangkat lunak ini adalah Foreignword Glossy. Untuk ini coba jelajahi www.foreignword-soft.com/

Mesin Penerjemahan

Untuk mesin penerjemahan, penerjemah pasangan bahasa English – Indonesia dapat menggunakan TransTool. Kelemahan umumnya adalah semakin rumit struktur bahasa sumber dan semakin imajinatif kata-kata yang digunakan, semakin kacau hasilnya. Untuk mesin penerjemahan ini sengaja tidak saya ulas agak panjang karenanya.

Memori Terjemahan

Memori Terjemahan (MT) adalah arsip teks multilingual yang tersegmentasi, disesuaikan, yang dipecah-pecah dan diklasifikasi, yang dapat disimpan dan dibaca ulang pada berbagai kondisi pencarian. Dengan kata lain, memori terjemahan terdiri dari database (pangkalan data) yang menyimpan segmen teks sumber dan  teks sasaran (sering disebut unit penerjemahan), dan segmen-segmen ini dapat dibaca ulang pada proses penerjemahan yang akan datang. Dengan cara ini memori terjemahan dapat memberi masukan pada penerjemah. Kalau digunakan dengan baik, memori terjemahan dapat meningkatkan konsistensi terjemahan dan kualitasnya. Memori terjemahan ini dapat dipakai bersama-sama oleh beberap penerjemahan. Kerja tim pun dapat menjai lebih baik.

Perbedaan MT dari PPBK lainnya adalah MT lebih kompleks karena MT menggunakan fasilitas PT dan pada saat yang sama memasangkan dokumen sumber yang disimpan di pangkalan data dengan dokumen yang telah diperbaiki atau bahkan dokumen baru melalui pemasangan tepat dan hampir tepat (exact dan fuzzy matching). Selain itu, MT juga dapat melakukan fungsi MP dengan perintah “translate from database” atau sejenisnya. Penerjemah pun dapat menentukan rentang unit penerjemahan yang disukainya: kalimat (atau potongan kalimat)  atau bahkan paragraf.

Proses dasar MT untuk menghasilkan teks terjemahan dapat dilihat dalam di dalam Gambar 1.

image002

Gambar di atas sebenarnya menunjukkan proses dasar penerjemahan dengan MT yang pangkalan datanya sudah terbentuk dari proses penerjemahan sebelumnya (TM Database). Dari gambar di atas, dapat dapat dilihat bahwa kalimat dalam bahasa sumber diidentifikasi dan dicarikan datanya di dalam pangkalan data. Kalau kalimat itu sesuai dengan yang ada di dalam pangkalan data, maka MT langsung memunculkannya ke monitor komputer.

Dalam gambar-gambar berikut ditunjukkan proses pnerjemahan konvensional dan proses yang menggunakan MT. (Kedua gambar berikut adalah dari Webb, 1992)

image004

image006

Dari dua gambar di atas dapat diketahui bahwa perlu pertimbangan khusus tentang perlu tidaknya menggunakan MT.

Mesi sekilas terlihat mirip, namun ada perbedaan antara proses MP dan MT. MP secara otomatis menghasilkan terjemahan dengan referensi dari database yang mengandung glosari, frasa dan elemen tata bahasa. Pada saat proses, MP menggunakan kamusnya dan juga menggunakan aturan tata bahasa. Hanya saja pasangan antara unit terjemahan sumber dan unit terjemahan sasaran tidak disimpan. Untuk menerjemahkan teks yang sama, proses tersebut akan diulang persis. Sementara itu, MT hanya menyimpan unit terjemahan sumber dan terjemahannya yang dikerjakan oleh manusia. Penerjemah dapat memakai ulang teks yang tersimpan ini untuk memperbaikai terjemahan atau menerjemahkan teks baru yag mirip. Hanya segmen-segmen teks baru yang tidak sesuai (exact or fuzzy) yang harus diterjemahkan. Proses pemakaian pasangan teks yang sudah disimpan ini dapat dilakukan secara serentak, sehingga kalau diaktifkan mirip MP, namun dasarnya tetap terjemahan manusia yang disimpan.

Keuntungan pemakaian MT selain konsistensi istilah adalah tetap terjaganya format dan layout dokumen sumber. Pembuatan tata letak tidak lagi diperlukan.

Contoh MT adalah Trados, Wordfast, dan Metatexis. Trados harganya cukup mahal, tetapi sepertinya paling banyak dipakai. Yang murah dan lebh praktis adalah Wordfast. Yang memerlukan spesifikasi program Sistem Operasi dan Pengolah Kata agak rumit adalah Metatexis karena Metatexis menggunakan MS Access, kalau tidak salah, untuk membuat pangkalan datanya. Sementara Wordfast adalah program “document template” saja. Yang menggembirakan adalah Trados dan Wordfast saling sesuai (kompatibel). Sehingga kalau klien menggunakan Trados, penerjemah masih dapat tetap menggunakan Wordfast yang lebih murah ini.

Pertimbangan Umum

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa PPBK secara umum mempunyai ciri: (a) bentuk naskah berupa file elektroknik dan (b) memerlukan ketrampilan mengoperasikan komputer. Naskah yang berbentuk kertas, kalau memang akan dikerjakan dengan PPBK, perlu dikonversikan menjadi file elektronik. Pengkonversian ini dapat dilakukan dengan menggunakan OCR (optical character recognition). Dengan kata lain, sitra naskah kertas dimasukkan ke dalam komputer dan huruf-hurufnya (karakternya) dikenali dengan sarana optik. Untuk itu dibutuhkan mesin pemindai (scanner) dan perangkat lunak yang mendukung (mis. Omnipage). Dengan kata lain, dibutuhkan investasi tambahan untuk menggunakan PPBK. Untuk itu perlu dipertimbangkan apakah keuntungan yang didapat lebih tinggi daripada kerugiannya jika PPBK dipakai.

Untuk membantu pengambilan keputusan ini, ada beberapa hal yang harus kita pertimbangkan:

1.   Naskah elektronik atau naskah kertas? Naskah elektronik mudah ditangani dengan PPBK. Kalau naskahnya adalah naskah cetak kertas, tentu dibutuhkan piranti lain untuk mengkonversikannya menjadi naskah elektronik. (Kemudian pertimbangkan jenis naskahnya.)

  1. Jenis naskahnya apa? Kalau jenis naskahnya naskah kreatif, misalnya puisi atau novel, penggunaan MP dan MT tidak dianjurkan, apalagi kalau naskah sumbernya berupa cetak kertas. Kalau naskah itu naskah teknik yang banyak mengandung pengulangan dan diperlukan konsistensi padanan kata, PPBK tentu sangat membantu.
  1. Apa jenis terjemahan berdasar tujuannya, inbound atau outbound translation? Inbound translation artinya penerjemahan yang dilakukan dengan tujuan untuk memahami teks asli. Teks terjemahan hanya digunakan untuk membantu memahami teks sumber. Untuk keperluan ini MP sudah memadai. Tetapi apabila naskah terjemahannya akan digunakan untuk mengkomunikasikan isi teks kepada sidang pembaca lain bahasa, suntingan oleh manusia sangat diperlukan.

Survei Lapangan

Paling tidak ada satu survei yang pernah dilakukan tentang kepuasan penerjemah terhadap penggunaan PPBK. Survei ini dilakukan oleh Giuseppe Palumbo (2002), yang membuat angket dan mendapat balikan dari 30 penerjemah pengguna PPBK, 28 penerjemah lepas, 2 penerjemah perusahaan (yang diposkan melalui http://www.votations.com/asp/survey.asp?pollid=64965. Hasilnya menunjukkan bahwa semuanya menggunakan MT dan hanya 13 dari mereka yang menggunakan perangkat pengelola istilah, dan hanya 4 orang menggunaka MP (Mesin Penerjemahan). Topik yg dikerjakan terbanyak adalah teknik (14), kemudian TI (9) dan bisnis (7); setelah itu barulah menyusul topik-topik lain. Enam orang sangat puas dengan manfaat PPBK, 22 secara umum puas, 6 cukup puas, serta tidak ada yang kecewa.

PENUTUP

Kekuatan dan kelemahan PPBK menurut Palumbo (2022) dapat diilustrasikan dengan tripod penerjemahan (Melby, 2001), yang dapat digambarkan sebagai berikut.

image008

Gambar 4. Tripod Terjemahan

Gambar di atas menunjukkan bahwa TSu harus dalam format yang dapat dibaca mesin (komputer). Apabila teks terjemahannya bersifat instruksi (spesifikasi), PPBK akan sangat membantu, dan PPBK tertentu dapat membantu menyimpan dan mencari data sesuai kriteria-kriteria tertentu. Harapan akhirnya adalah PPBK secara operasional dapat membantu meningkatkan produktivitas dan secara lingusitik dapat membantu meningkatkan kualitas terjemahan.

 

REFERENCES

  • Language Partners International, an Introduction to Computer Aided Translation. http://www.languagepartners.com/reference-center/whitepapers/catinto.htm
  • Palumbo. Giuseppe, 2002. CAT tools from a user’s perspective, paper presented at Seminar on machine translation and computer-assisted translation of written texts, Trieste, 18–19  November 2002 (available at www.sslmit.univ.trieste.it/ Seminario%5CSeminar%20MT-CAT.htm)
  •             .Stuttgart (Germany): TRADOS Corporation (1994-96).
  • TRADOS Corporation. Translator’s Workbench for Windows User’s Guide.
  • Webb. Lynn E., 1992, Advantages And Disadvantages Of Translation Memory: A Cost/Benefit Analysis, M.A. Thesis at San Fransisco State University.
  • Wizard Translation, Wordfast, http://wizardtrans.free.fr/Wordfast-intro.htm

 

Implementasi Kurikulum 2013 Terganggu Pendistribusian Buku

$
0
0

Implementasi kurikulum 2013 berjalan sekitar tiga pekan sejak 4 Agustus. Namun, pembelajaran masih terganggu karena banyak siswa yang belum menerima buku pelajaran. Fotokopi materi juga tidak diminati.

Di Jawa Timur, baru 30 sampai 40 persen yang telah menerima buku-buku kurikulum baru tersebut. Sebagian memilih membeli buku pelajaran yang dijual bebas daripada mengikuti saran untuk memfotokopi materi dari CD Kemendikbud. Padahal, peredaran buku-buku itu semestinya dilarang.

Wali murid sedang waswas. Terutama, orang tua yang anaknya masih duduk di bangku SD. Sebab, ada yang belum menerima sama sekali buku pelajaran kurikulum 2013.

Mereka khawatir. Tanpa buku pegangan, proses belajar-mengajar tidak akan maksimal. Memang, Kemendikbud memberikan CD berisi semua mata pelajaran. Siswa bisa meng-copy atau mengunduh langsung dari website Kemendikbud. Semula, saran tersebut memang dituruti. Namun, di tengah distribusi yang tidak kunjung tuntas, belakangan justru buku-buku tersebut beredar di toko-toko.

Wali murid pun ramai-ramai menyerbu. Ternyata buku itu sama dengan yang seharusnya mereka terima gratis di sekolah. Di toko-toko buku di Surabaya, banyak siswa yang membelinya dengan mudah. Mulai siswa SD sampai SMA. Koleksinya juga boleh dikata lengkap.

Untuk kelas I dan IV SD, tersedia buku tema 1 sampai 5. Buku tematik kelas IV, misalnya, terdiri atas tema 1 tentang Indahnya Kebersamaan, tema 2 tentang Selalu Berhemat Energi, tema 3 tentang Peduli terhadap Makhluk Hidup, tema 4 tentang Sehat Itu Penting, dan tema 5 tentang Pahlawanku.

Buku-buku tersebut adalah buku resmi kurikulum 2013. Di sampulnya, ada logo Kemendikbud. Terdapat pula larangan untuk diperjualbelikan. Sebab, buku itu hanya dicetak pemenang tender melalui lelang di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Kemendikbud hanya memperbolehkan penerbit pemenang lelang mencetak buku-buku kurikulum 2013. Termasuk, buku-buku pendamping.

”Baru dapat satu tema buku dari sekolah. Saya dengar-dengar di sini ada. Ternyata memang lengkap,” ucap seorang wali murid dari SDN Kaliasin 3. Dia memborong buku-buku tematik kelas IV sekaligus buku pendamping.

Menurut perempuan berjilbab itu, harga buku di toko relatif lebih murah jika dibandingkan dengan harus fotokopi per tema. Fotokopi bisa habis Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu. Padahal, harga bukunya hanya Rp 20.900. ”Kualitasnya ya pasti lebih baik buku asli,” ungkapnya. Padahal, harga eceran tertinggi (HET) dari Kemendikbud jauh lebih murah. Yakni, Rp 7.000 sampai Rp 9.000.

Humas Dispendik Surabaya Eko Prasetyoningsih berjanji mengeceknya. Dia menyatakan sudah mendengarnya. Namun, kebenarannya harus dibuktikan dulu. Yang pasti, kata Eko, Kemendikbud melarang sekolah membeli buku-buku di luar buku resmi.

Sekolah diminta menunggu pengiriman buku. Larangan itu disampaikan melalui surat edaran bernomor 101293/WMP/KR/2014 tertanggal 5 Agustus. ”Intinya, sekolah dilarang membeli buku selain yang resmi. Jika mau beli buku-buku lain, sekolah tidak boleh menggunakan dana BOS dan dekonsentrasi dari Kemendikbud,” jelasnya.

Sekolah diimbau tidak membelinya. Begitu pula wali murid. ”Kalau membeli pakai dana BOS, tidak bisa dipertanggungjawabkan nanti. Sekolah harus hati-hati,” tutur Eko. Wali murid juga diminta bersabar menunggu pengiriman buku. Mereka bisa memanfaatkan CD pembelajaran.

Dari Jakarta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merespons peredaran buku kurikulum 2013 di toko-toko di Surabaya. Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim menegaskan bahwa buku-buku kurikulum baru yang resmi dikeluarkan pemerintah dilarang diperjualbelikan.

Menurut Musliar, buku-buku kurikulum 2013 sudah diberi keterangan tidak boleh diperjualbelikan. Meski biaya pencetakan bukan dari uang negara, buku itu tidak boleh dikomersialkan. ”Sebab, ada aturan royalti atau hak intelektual. Yang itu milik pemerintah,” tegasnya.

Musliar akan mengecek lebih jauh peredaraan buku resmi kurikulum baru di toko-toko. Apalagi, berdasar informasi, buku tersebut dijual dengan harga dua kali lipat dari yang ditetapkan di tender LKPP.

Musliar menjelaskan, dengan alasan apa pun dari percetakan mana pun, termasuk yang sudah memenangkan tender, buku itu dilarang dijual di pasaran. Termasuk, alasan percetakan telanjur menggandakan, tetapi sekolah tidak kunjung membelinya. Penjualan buku hanya diperbolehkan dalam skema pemesanan oleh sekolah dan dibayar dengan uang dari dana BOS (bantuan operasional sekolah).

Permasalahan dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013:

Distribusi Buku

  • Sebagian sekolah belum menerima buku. Bahkan, sebagian besar SD belum menerima buku sama sekali.
  • Buku-buku diperjualbelikan di toko-toko buku.
  • Siswa memilih membeli buku daripada fotokopi materi di CD pembelajaran dari Kemendikbud.
  • Wali murid SD resah karena anak baru menerima satu buku tematik.

Kesiapan Guru

  • Sebagian belum menerima buku pegangan untuk mengajar.
  • Kurang siap dalam mengubah metode pembelajaran. Terutama cara mengajar tematik di SD.
  • Sistem penilaian dianggap menyulitkan dan merepotkan.
  • Tugas guru semakin berat karena tuntutan kurikulum cukup besar.

Kesiapan Sekolah

  • Kerepotan karena selalu ditagih wali murid soal buku pelajaran.
  • Harus mempersiapkan guru dengan baik untuk mengajar.
  • Bertanggung jawab atas segala persoalan dalam penerapan kurikulum 2013.

Keterangan: dari berbagai sumber

online: Jawa Pos 20 Agustus 2014

foto: radio.itjen.kemdikbud.go.idBuku Kurikulum 2013

foto: radio.itjen.kemdikbud.go.id
Buku Kurikulum 2013

Buku dari Percetakan Tak Datang-Datang, Gunakan CD Pembelajaran

$
0
0

Sampai kapan murid-murid sekolah dasar harus menunggu pengiriman buku dari percetakan? Gara-gara pengiriman buku tematik dua yang juga terlambat seperti buku tematik satu, sekolah di Surabaya disarankan menggunakan CD pembelajaran. Fotokopi mahal.

Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya mengimbau guru-guru sekolah dasar (SD) menggunakan CD pembelajaran saja. Tidak perlu memfotokopi per tema. Sebab, biayanya ditaksir bisa lebih mahal daripada buku asli.

Humas Dispendik Surabaya Eko Prasetyoningsih mengakui, memang buku tematik dua belum diterima sekolah dari percetakan.

”Karena kondisi seperti ini, kami meminta sekolah memanfaatkan CD pembelajaran saja. Saya yakin buku segera dikirim,” ungkapnya kemarin (1/9).

Untuk fotokopi buku tematik satu, lanjut Eko, sekolah sudah menggunakan dana BOS (bantuan operasional sekolah). Jadi, kalau digunakan lagi, BOS makin berkurang. Karena itulah, dispendik lebih menyarankan sekolah mengoptimalkan pemanfaatan CD dulu. Fasilitas pembelajaran sekolah-sekolah di Surabaya sudah mendukung itu.

Yang lebih penting lagi, tambah perempuan yang juga kepala bidang pendidikan dasar itu, guru bisa lebih kreatif. Penerapan Kurikulum 2013 bukan semata-mata berupa pembelajaran tematik di kelas. Sumber belajar sangat beragam. Pembelajaran bisa dilakukan di luar kelas. Guru pun bisa membuat alat peraga sendiri. Prinsipnya, pembelajaran harus berlangsung sebaik-baiknya.

Keterlambatan distribusi buku tidak hanya terjadi di Surabaya. Tetapi, hampir di seluruh wilayah Indonesa. Di daerah-daerah distribusi buku malah memprihatinkan. ”Namun, itu bukan berarti halangan untuk melaksanakan kurikulum ini,” ungkapnya.

Meski demikian, dispendik tetap berharap buku tematik dua bisa dikirim secepatnya. Jangan sampai murid membeli lagi buku di toko seperti yang terjadi pada buku-buku tematik satu. Eko mengaku sudah bertemu penerbit untuk menuntaskan pengiriman buku.

Semester Dua, Sistem Pengadaan Berubah

Dispendik Surabaya telah mendata jumlah murid di seluruh jenjang sekolah. Data-data tersebut sudah disetor ke Kemendikbud. Selanjutnya, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) akan menerima seluruh data dari kabupaten/kota se-Indonesia. LKPP bakal kembali menangani tender buku untuk semester dua.

”Jumlah buku yang dicetak sesuai dengan data yang kami kirim. Pembayaran bukunya nanti melalui DAK (dana alokasi khusus, Red),” jelasnya. Tidak seperti semester pertama, pemesanan dan pembayaran dilakukan sekolah.

Sebagaimana diberitakan, batas waktu (deadline) pengiriman buku tematik dua seharusnya berakhir pada 31 Agustus. Senin kemarin (1/8) murid-murid SD semestinya menggunakan buku tematik dua. Namun, ternyata banyak sekolah yang belum menerima buku dari percetakan.

(JPNNkit/c19/roz)

Perkembangan Pengiriman Buku Kurikulum 2013 untuk Sekolah-Sekolah di Surabaya:

  • Seluruh SD di Surabaya negeri maupun swasta belum mendapat buku tematik dua yang mulai dipakai September ini.
  • Dispendik meminta sekolah memanfaatkan CD pembelajaran dulu. Dispendik juga mengimbau sekolah tidak perlu memfotokopi.
  • Dispendik meminta penerbit agar bulan ini distribusi buku di Surabaya juga sudah tuntas.
  • Distribusi buku tematik satu untuk SD mencapai sekitar 70 persen, sedangkan SMP-SMA sampai 80-90 persen.

Perubahan Lelang Semester Dua:

  • Pelelangan buku tetap ditangani LKPP.
  • Pemesanan buku melalui pendataan dispendik yang dikirim kepada Kemendikbud, lalu disetor kepada LKPP
  • Pembayaran buku dari DAK (dana alokasi khusus) melalui dispendik.

Sumber: Dispendik Surabaya

Viewing all 36 articles
Browse latest View live